Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 26/PUU-XI/2013, pengujian Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang terkenal sebagai hak imunitas advokat yang diajukan oleh sejumlah advokat. Putusan tersebut dinyatakan MK dalam sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Rabu (14/05/2015).
Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini ”. Menurut Mahkamah dalam pertimbangannya, pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 16 UU tersebut hanya memberikan perlindungan kepada advokat untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan klien di dalam persidangan padahal pemberian jasa hukum oleh advokat juga dilaksanakan di luar pengadilan. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, mempertimbangkan, “UU Nomor 18/2003 Tentang Advokat adalah Undang-Undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan Undang-Undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat”. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, antara UU yang dimohonkan diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dijadikan salah satu argumentasi pemohon, terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut.
Mahkamah melihat keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Keadaan tersebut juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, juga untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Dengan pendapat tersebut maka Mahkamah menyatakan, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. (Ilham/mh)