Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya pengujian Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Demikian amar putusan nomor 109/PUU-XI/2013 dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Kamis (24/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon,” ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh Dirut PT Daya Radar Utama, Muhammad Idris.
Dalam pendapatnya, Mahkamah menilai PKPU adalah suatu upaya melalui putusan pengadilan atas permohonan baik kreditor maupun debitor untuk memberikan kesempatan kepada debitor untuk menyelesaikan kewajibannya kepada para kreditor dengan cara melakukan perdamaian dengan melakukan pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya sesuai dengan kesepakatan. Apabila setelah putusan PKPU ternyata tidak ada perdamaian di antara debitor dan para kreditor, maka debitor dinyatakan pailit.
“Dengan adanya perdamaian tersebut berarti antara kreditor dan debitor telah terjadi kesepakatan mengenai cara dan jumlah yang harus dibayar oleh debitor kepada kreditor sehingga adalah wajar apabila seluruh sita atau penyanderaan sebagai tindakan sementara yang sedang dilakukan gugur. Demikian juga sebaliknya, apabila tidak ada kesepakatan antara kreditor dan debitor mengenai cara dan jumlah pembayaran oleh debitor kepada kreditor maka debitor dinyatakan pailit, sehingga dengan pailitnya debitor, berlakulah tata cara pembagian harta pailit berdasarkan ketentuan kepailitan,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Mahkamah berpendapat adalah wajar sita atau penyanderaan sebagai tindakan sementara menjadi gugur setelah adanya putusan PKPU atau putusan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Mahkamah, lanjut Wahiduddin, baik penyitaan maupun penyanderaan, merupakan suatu tindakan yang bersifat sementara sehingga jikalau telah ada putusan penundaan kewajiban membayar utang tetap atau telah ada putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, maka penyitaan yang ada sebelumnya berakhir atau gugur. “Oleh karena itu dalil Pemohon yang mempermasalahkan penyitaan aset debitor yang bersifat sementara, begitu pula tentang penyanderaan menurut Undang-Undang a quo, harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)