Pemerintah yang diwakili Deputi Bidang Penaatan Hukum Likungan Kementerian Lingkungan Hidup, Sudariyono menilai ketentuan izin pengelolaan limbah B3 dalam Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) tidak perlu ditafsirkan kembali, karena sudah jelas dan tegas dalam penormaannya. Sudariyono menyampaikan hal demikian dalam sidang lanjutan perkara nomor 18/PUU-XII/2014, pengujian UU PLH yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat.
Sebagaimana diketahui, pasal-pasal tersebut menyatakan:
Pasal 59
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 95
(1)Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 59 ayat (4) kontradiktif dengan Pasal 59 ayat (1) UU PLH menurut Pemohon memungkinkan terjadi kondisi dimana instansi berwenang tidak memberikan izin kepada orang untuk mengelola limbah B3. Pemerintah dalam hal ini berpendapat, setiap usaha terkait dengan limbah B3 diwajibkan untuk mendapatkan izin lingkungan dan/atau izin Pelindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terlebih dahulu. Karena sifat limbah B3 yang berbahaya dan beresiko bagi manusia dan lingkungan hidup, maka pengelolaan limbah B3 wajib dilakukan dengan pendekatan prinsip kehati-hatian melalui penerapan instrumen perizinan, mulai dari penyimpanan, pengumpulan dan pengakutannya hingga pemanfaatan serta pengelolaan bahkan penimbunannya harus diatur dengan baik.
Selain itu, tidak mungkin suatu usaha atau pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin lingkungan dan atau izin PPLH. Karena kedua izin tersebut merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan sebagaimana diamantkan dalam pasal 40 ayat 1 UU PLH dan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang Izin Lingkungan. “Oleh karena itu, cukuplah beralasan apabila dalam ketentuan a quo harus mengatur bagi pengelolaan limbah B3 dalam usaha atau kegiatannya, yang mengharuskan suatu perusahaan memperolah izin dari menteri/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya. Dengan tujuan agar pemerintah dan pemangku kepentingan dapat melaksanakan kewajibannya dalam melaksanaan pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Maka dengan demikian Pemerintah berpendapat bahwa materi pengaturan limbah B3 sudah sangat jelas, tegas dan tidak multi penafsiran, tuntas dan adil bagi semua orang,” ujar Sudariyono.
Sementara terhadap dalil Pemohon bahwa keberadaan kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat 1 UU PLH tersebut menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan penegakan hukum tepadu hanya menjadi slogan karena memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk jalan sendiri sendiri. Pemerintah menilai, kata “dapat” telah sesuai dengan fungsinya, yaitu pernyataan sebagai sifat diskrisioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga. Sehingga berdasarkan norma dalam pasal tersebut mempunyai makna bahwa menteri lingkungan hidup memiliki diskresi untuk menentukan penanganan tindak pidana lingkungan hidup, melalui instansi-instansi penegak hukum lainnya.
Selain itu, melalui kerjasama dengan penegak hukum terpadu, yakni penyidik, kepolisian dan kejaksaan, Pemerintah telah melakukan upaya yang sungguh-sungguh, agar penegakan hukum lingkungan dapat berjalan efektif, efisien, dan berhasil serta dayaguna bagi semua warga negara. “Berdasarkan hal diatas, penegakan hukum terpadu telah diupayakan agar terharmonisasi dan sudah diwujudkan, sehingga anggapan Pemohon yang mengatakan bahwa penegakan hukum lingkungan terpadu hanya slogan saja karena bekerja sendiri sendiri tidak benar dan tidak terbukti,” tegas Sudariyono.
Dalam permohonannya, Pemohon Bachtiar Abdul Fatah menyampaikan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan keberadaan Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PLH. Pasal-pasal tersebut memungkinkan instansi yang berwenang tidak/belum memberikan izin pihak penghasil limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk mengelola limbah dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 59 ayat (4) UU PLH juga dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam ayat (1) dalam pasal UU yang sama. Sebab, Pasal 59 ayat (1) mewajibkan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Dengan kata lain, ada atau tidaknya izin, penghasil limbah harus mengola limbah B3 yang dihasilkannya bila tidak ingin dikenai sanksi pidana. (Panji Erawan/mh)