Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Yusril Ihza Mahendra yang meminta tafsir konstitusional norma yang terkait dengan syarat dan waktu pengajuan calon presiden pada Pemilu presiden dan wakil presiden tidak dapat diterima, Kamis (20/3). Mahkamah berkesimpulan bahwa dirinya tidak berwenang untuk mengadili permohonan Pemohon.
“Amar Putusan. Mengadili, menyatakan. Permohonan Pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan Mahkamah terhadap perkara No. 108/PUU-XI/2013 itu.
Sebelumnya, Yusril yang telah dicalonkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) untuk menjadi calon Presiden Republik Indonesia dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 merasa “dijegal” langkahnya. Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dinyatakan pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Namun, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak secara jelas menunjukkan Pemilu manakah yang dimaksud. Yusril beranggapan, Pemilu yang dimaksud adalah Pemilu Legislatif. Hal itu terlihat dari bunyi Pasal 22I UUD 1945 yang menyatakan Pemilu dilaksanakan secara luber-jurdil setiap 5 tahun sekali yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden yang pesertanya adalah partai politik.
Namun, Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No. 48 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan Pilpres dilaksanakan setelah Pemilu Legislatif, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi sedikitnya 20 persen. Karena itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya Yusril meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap maksud Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 dengan menyatakan Pemilu di dalam pasal-pasal tersebut ditafsirkan sebagai Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota-anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD yang pelaksanaannya dilakukan serempak dalam waktu bersamaan.
“Mutatis Mutandis”
Terhadap dalil Yusril yang menyatakan ketentuan pelaksanakan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan lebih dahulu kemudian memilih badan eksekutif (Pilpres) adalah bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah menyatakan sesungguhnya substansi dalil Pemohon mutatis mutandis (dengan perubahan-perubahan yang diperlukan) dengan Putusan No. 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014.
Sementara itu, terkait dalil Pemohon yang menyatakan pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD juga secara substansial telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014. Adapun mengenai substansi ketentuan tersebut, Mahkamah menyatakan tidak benar pemberlakuan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2019 dan pemilu berikutnya hanya semata-mata didasarkan atas pertimbangan kesiapan atau ketidaksiapan teknis tata cara penyelenggaraan oleh Komisi Pemilihan Umum saja sebagaimana didalilkan Pemohon.
Menurut Mahkamah, Putusan MK tanggal 23 Januari 2014 tersebut maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Adapun dalil-dalil Pemohon selebihnya terkait dengan Pasal 9 UU 42/2008 tidak relevan untuk dipertimbangkan. (Yusti Nurul Agustin/mh)