Sidang pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/3) siang. Pemohon adalah Bachtiar Abdul Fatah, terdakwa kasus bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia. Majelis hakim konstitusi yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Pengujian UU tersebut dilatar belakangi dengan saat Pemohon dalam kasus tindak pidana korupsi mengalami penahanan sejak 26 September sampai dengan 27 November 2012. Setelah itu Pemohon dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan, namun kemudian dipaksakan untuk ditahan lagi sejak 17 Mei 2013 sampai dengan saat ini.
Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP. Kerugian konstitusional yang dimaksud, Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja serta melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi karena status tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi yang disandang oleh Pemohon pada saat penahanan hingga saat ini.
Pasal-pasal yang diujikan tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1 angka 2
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 1 angka 14
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 21 ayat (1)
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Pasal 29
1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 77 huruf a
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Pasal 156 ayat (2) dan ayat (4)
2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Maqdir Ismail mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil.
Dijelaskan Maqdir, Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diinterpretasikan dan diberi makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut Pemohon, penyidikan bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
“Penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara. Sehingga kemudian akan menemukan tersangka, sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan acak. Karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan cara yang baik dan benar,” urai Maqdir. Dikatakan Maqdir, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. “Sebab pada hakikatnya hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum. karena diduga melakukan perbuatan pidana,” kata Maqdir.
Selain hal diatas, dalam permohonannya menyatakan Pemohon juga mempersoalkan frasa ‘bukti permulaan’ Pasal 1 angka 14, frasa ‘bukti permulaan yang cukup’ Pasal 17, frasa ‘bukti yang cukup’ Pasal 21. Frasa yang berbeda-beda pada pasal-pasal tersebut menurut Pemohon harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ’bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi. Pasal-pasal tersebut terkait penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan, serta penahanan lanjutan.
Nasihat Hakim
Menanggapi apa yang dialami Pemohon, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan agar Pemohon lebih menyingkatkan tuntutan atau petitum, supaya bisa lebih praktis dan meminta tuntutannya diformulasikan kembali. Misalnya tuntutan nomor 3 menyatakan Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional yaitu inkonstitusional secara bersyarat. Conditionally unconstitutional sepanjang frasa dan guna menemukan tersangkanya dan seterusnya.
“Mungkin ada formula misalnya menyatakan Pasal 1 angka 2 KUHAP ya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai hal-hal lainnya,” kata Anwar Usman. (Nano Tresna Arfana/mh)