Frasa ‘demi hukum’ yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) dinilai merupakan norma yang kabur. Oleh karena itu, frasa ‘demi hukum’ memerlukan pendefinisian atau interpretasi lebih lanjut.
Hal tersebut disampaikan oleh ahli pemohon Asri Wijayanti dalam sidang lanjutan pengujian UU Ketenagakerjaan yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Menurutnya, pasal-pasal yang diajukan tidak memiliki jaminan perlindungan hukum. “Dalam fakta yang ada, nota pegawai pengawas sudah menyatakan (pengusaha) melanggar. Namun apabila pengusaha tidak mau melakukan nota tersebut, tidak ada upaya hukum lebih lanjut,” ungkap Asri di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (19/3).
Menurutnya, selama ini ada diskriminasi terhadap pekerja. Pekerja sudah dibela melalui nota pegawai pengawas tapi dimentahkan dengan mediasi. Nota pegawai adalah nota penetapan tertulis dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Nota tersebut berupa rekomendasi apabila ada perusahaan yang melanggar aturan, termasuk melanggar ketentuan syarat hubungan kerja dari pekerja waktu tertentu (pekerja kontrak) menjadi pekerja waktu tidak tertentu (pekerja tetap). Nota kemudian dilaporkan kepada atasan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, yakni Dinas Ketenagakerjaan tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat Kementerian.
Sayangnya, ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memberi ruang multitafsir sehingga Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan kurang berani menegakkan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU tersebut. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum yang menjadi akar masalah dari setiap perselisihan perburuhan.
Asri yang merupakan Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya ini menyebut ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan merupakan norma yang kabur. Lebih lanjut, kriteria kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, juga menimbulkan multitafsir yang membuat tidak adanya kepastian hukum. Pasalnya, yang berhak menentukan bagian dari proses produksi yang bersifat pokok atau penunjang adalah pengusaha.
“Apabila ketentuan Pasal 59 ayat (1) jo Pasal 65 ayat (2) jo Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan merupakan norma yang kabur, maka ketentuan tersebut tidak dapat diimplementasikan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai dasar penentuan pelanggaran dalam bentuk nota pemeriksaan,” imbuhnya.
Selain itu, agar nota pemeriksaan tersebut memiliki kepastian hukum diperlukan peran hakim di Pengadilan Negeri. Secara teori, frasa ‘demi hukum’ memang sudah jelas dan tidak perlu dijabarkan kembali. Tapi pada praktiknya, menurut Asri, frasa tersebut mengandung makna kekosongan hukum dan apabila dilanggar tidak ada langkah konkret lebih lanjut. “Ini yang harus ditegaskan kembali. Selama ini pegawai pengawas hanya bisa menyatakan salah tapi tidak bisa menghukum karena yang bisa hanya yudisial. Jadi nota ini harus memberikan kepastian hukum agar dapat dilaksanakan,” tandasnya.
Sebelumnya, Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) memohonkan judicial review UU Ketenagakerjaan ke MK. FISBI yang diwakili oleh ketuanya M. Komarudin, menilai adanya ketidakpastian hukum dalam frasa ‘demi hukum’ yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Sehingga, dalam petitumnya pemohon meminta MK menyatakan frasa ‘demi hukum’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan nota pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ke pengadilan negeri melalui pengadilan hubungan industrial setempat apabila perusahaan pemberi pekerjaan nyata-nyata tidak mengubah status pekerja waktu tertentu menjadi waktu tidak tertentu’. (Lulu Hanifah/mh)