Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan mantan calon komisioner KPU Kabupaten Kepahiang Bengkulu, Meyce Dwi Wahyuni, Rabu (12/3). Mahkamah menganggap permohonan Meyce yang menggugat ketentuan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilu tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Meyce menganggap Pasal 6 ayat (5) UU Penyelenggara Pemilihan Umum telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, dalam pasal a quo terdapat frasa “memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” yang kurang jelas, kurang tegas, dan bermakna ganda sehingga menimbulkan multitafsir. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 6
(5) Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
Menurut Meyce, pasal tersebut seharusnya diartikan bahwa keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di dalam suatu kepengurusan lembaga pemerintahan bersifat mutlak. Namun, KPU Kabupaten Bengkulu menganggap tidak ada kewajiban atau keharusan komposisi perempuan di dalam keanggotaan KPU harus sebanyak 30 persen. Anggapan KPU Bengkulu itulah yang menyebabkan Meyce tidak lolos menjadi anggota KPU Kabupaten Kepahiang meski sudah dinyatakan lolos dalam proses seleksi dan menjadi satu-satunya calon wanita.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa sebenarnya affirmative action adalah kebijakan yang diterapkan pada kelompok tertentu yang mengalami ketidaksetaraan dengan memberikan perlakuan khusus agar kesetaraan tersebut tercapai. Namun, pemberlakuan affirmative action tersebut tidak dapat dipaksakan tanpa memperhatikan kemampuan pihak yang tidak setara/seimbang posisinya, dalam hal ini perempuan. Karena, kalau kebijakan itu dipaksakan tanpa mempertimbangan kemampuan perempuan dikhawatirkan tujuan untuk menjunjung harkat dan martabat perempuan justru tidak tercapai dan dapat berlaku sebaliknya.
Mahkamah juga menyampaikan bahwa kebijakan affirmative action dalam ketentuan keterwakilan perempuan merupakan kebijakan yang bersifat terbuka (opened legal policy). Sebab, UUD 1945 pun tidak memberikan batasan yang tegas mengenai keterwakilan perempuan dalam pengisian jabatan tertentu.
Seperti yang disampaikan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang membacakan kutipan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 74/PUU-XI/2013, Mahkamah menegaskan bahwa meskipun affirmative action diberlakukan dalam seleksi anggota KPU/KPUD namun untuk mewujudkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil, kompetensi dan profesionalitas anggota KPU/KPUD tetap diutamakan.
“Berdasarkan penilaian hukum di atas, menurut Mahkamah kata ‘memperhatikan’ yang termuat dalam Pasal 6 ayat (5) 15/2011 tidak dapat dimaknai bahwa dalam pengisian anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/kota harus mengikutsertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen secara mutlak. Namun demikian, oleh karena adanya affirmative action dalam pengisian keanggotaan perempuan dalam jabatan anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/kota maka apabila terdapat perempuan yang telah lulus semua tahapan seleksi dan memenuhi kualifikasi yang sama dengan calon anggota laki-laki, sedangkan anggota perempuan belum ada yang terpilih, maka dalam keadaan tersebut perempuan harus diutamakan untuk menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Pemohon sepanjang mengenai Pasal 6 ayat 5 UU 15/2011 tidak beralasan menurut hukum,” tukas Fadlil membacakan pendapat Mahkamah. (Yusti Nurul Agustin/mh)