Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) justru memberikan kemudahan kepada organisasi masyarakat untuk menyelesaikan jenjang-jenjang permasalahan jika hubungan orang antar ormas yang beragam tersebut telah sampai pada kondisi sengketa. Hal ini disampaikan oleh Ahli Pemerintah Abdi Saptomo dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (27/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Abdi, masyarakat Indonesia berada dalam potensi konflik dan jika tidak ada pranata hukum untuk mengaturnya, maka akan naik satu tingkat menjadi kondisi prakonflik. Pemerintah, lanjut Abdi, berperan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya konflik termasuk ormas, jika tidak diatasi, maka akan terjadi sengketa oleh pihak ketiga yang dikehendaki oleh pihak yang berkonflik. “Implikasi konstitusionalitasnya adalah pemerintah melalui UU Ormas telah mengakui keberadaan seperangkat pranata yantg disediakan oleh ormas. Pemerintah telah percaya pada ormas,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Sementara Ahli Pemohon Sri Budi Eko Wardani menjelaskan ormas memiliki fungsi untuk mengontrol otoritas politik baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Sri Budi menjelaskan pembuat undang-undang tidak memahami keragaman yang ada di masyarakat sipil yang bisa tumbuh dari lingkungan masyarakat kecil. “Hal ini meruapakan bukti perluasan partisipasi politik dalam demokrasi dewasa ini. Ormas tidak selalu terlembaga. Tampaknya pembuat kebijakan kurang memahami pembentukan komunitas terkecil ini,” terangnya.
Sebelumnya, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang tercatat sebagai pemohon pengujian UU Ormas yang baru disahkan bulan lalu tersebut dengan nomor perkara 82/PUU-XII/2013. Dalam permohonannya, PP Muhammadiyah menuntut agar MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU Ormas yang dianggap telah menghalangi hak konstitusional Pemohon. Pasal yang digugat, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat 2, Pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) huruf a UU No 17 tentang Ormas. Kemudian pada 9 Januari 2014, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyusul mengajukan permohona dengan registrasi perkara Nomor 3/PUU-XIII/2014.
Membatasi HAM
Menurut para pemohon, UU tersebut telah membatasi hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana yang dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945. Pengekangan tersebut dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Selain itu, banyak keanehan yang terdapat dalam UU Ormas karena adanya pertentangan dan kontradiksi yang terjadi. (Lulu Anjarsari/mh)