Sidang lanjutan terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayara Utang (UU Kepailitan) kembali diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh legal manager PT Daya Radar Utama, Muhammad Idris.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Muhammad Idris telah melakukan perbaikan permohonan sesuai saran perbaikan yang diberikan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Jansen menuturkan telah mengubah kedudukan hukum (legal standing) dari badan hukum privat menjadi perseorangan. “Saya mengubah kedudukan dari badan hukum privat menjadi perseorangan yang mewakili perusahaan,” jelasnya.
Majelis Hakim juga mengesahkan sejumlah alat bukti yang diajukan oleh Pemohon. Patrialis menjelaskan hasil sidang panel tersebut akan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Nanti di RPH akan diputuskan apakah pengujian ini akan dibawa ke pleno atau tidak,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan karena dianggap melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai perwakilan badan hukum privat. Pasal 242 (2) UU 37/2004 menyatakan “Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta debitor”.
Pemohon mendalilkan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan tidak mencerminkan asas kepastian hukum karena menggugurkan sita yang telah dilaksanakan terlebih dahulu kurang lebih 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). “Pemohon telah mengajukan gugatan, namun tidak bisa menggunakan sita jaminan karena adanya putusan pengadilan,” ujar Idris.
Pemohon menilai tidak memperoleh haknya karena dibatasi dan dihalangi oleh ketentuan tersebut, yang secara limitatif memberikan kewenangan kepada hakim pengawas dan pengurus PKPU mencabut penetapan sita jaminan yang telah dilaksanakan Pengadilan Negeri terlebih dahulu kurang lebih 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam PKPU. “Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” paparnya. (Lulu Anjarsari/mh)