Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Ormas. Selasa (28/1), dua Perkara Pengujian UU Ormas yang dimohonkan oleh PP Muhammadiyah (Perkara No. 82/PUU-XI/2013) dan gabungan LSM (Perkara No. 3/PUU-XII/2014) disidangkan di Ruang Sidang Pleno MK. Kali ini, Pemerintah menghadirkan ahli dan saksi.
Pemerintah pada kesempatan ini menghadirkan Anggota DPR dari Fraksi PKS, Indra yang juga Mantan Anggota Pansus RUU Ormas. Indra mengatakan proses pembahasan RUU Ormas berjalan panjang dengan segala runtutan seperti yang diamanahkan Undang-Undang P3 (Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Sebagaimana mestinya, DPR telah melibatkan publik dengan menghadirkan Ormas yang bisa mewakili pandangan dari seluruh elemen yang terkait dengan RUU Ormas.
“Selain itu kami juga melakukan tinjauan ke lapangan. Bukan saja perwakilan atau entitas Ormas DPP-nya, tapi juga ormas-ormas di daerah. Kami juga melakukan kunjungan ke beberapa Ormas-ormas yang ada di berbagai daerah sehingga konstruksi yang dibahas dalam pasal per pasal diharapkan mendapatkan masukan yang lebih utuh dan menyeluruh,” jelas Indra.
Saat itu, lanjut Indra, DPR bertujuan untuk mengubah Undang-Undang Nomor 885 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesia. Sebab, Undang-Undang Nomor 885 memiliki asas tunggal, represif, dan subjektif. “Itulah yang menjadi dasar untuk membentuk UU Ormas baru yang tidak represif, tidak tunggal, dan tidak subjektif sehingga keberadaan civil society seperti yang diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 28 bisa teraktualisasi dan terpayungi dengan undang-undang ini,” ujar Indra lagi sembari memastikan UU Ormas yang baru sangat memberikan ruang yang sangat luas untuk kebebasan berserikat.
Meski begitu, UU Ormas pun dibentuk dengan maksud terciptanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 yang mewajibkan untuk menghargai hak orang lain, maka UU Ormas pun dibentuk dengan adanya syarat-syarat tertentu dalam pembentukan Ormas. “Undang-Undang Ormas yang baru ini semangatnya adalah semangat pemberdayaan, bukan lagi pembinaan. Semangat pemberdayaan ini didasari kesadaran fungsi dan keberadaan Ormas selama ini begitu bermanfaat dalam kehidupan bangsa dan negara. Banyak instrumen-instrumen kehidupan berbangsa dan bernegara yang belum terjangkau oleh negara yang perannya begitu strategis dimainkan dan dijalankan oleh ormas. Oleh karena itu, memang undang-undang ini memberi ruang untuk hal itu dan memberikan perlindungan yang cukup,” tukas Indra yang juga mengatakan UU Ormas bertujuan untuk menghindari Ormas asing menggunakan payung hukum UU Yayasan dan bertujuan untuk menyusupi kepentingan asing.
Sementara itu Ahli Hukum Tatanegara yang kerap hadir dalam persidangan MK, Margarito Kamis dihadirkan oleh Pemerintah. Margarito menegaskan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul dibenarkan oleh Konstitusi. Namun, kebebasan tersebut memang harus dibatasi, termasuk kebebasan berserikat dan berkumpul yang dibatasi dalam Pasal 1 angka 1 UU Ormas. Margarito menjelaskan, dari segi ilmu hukum tidak mungkin tidak dilakukan pembatasan karena kebebasan tidak dapat ditunaikan secara beradab bila tidak diatur.
Selain itu, Margarito pun menegaskan bahwa suatu organisasi harus memiliki tujuan karena mengumpulkan banyak orang tanpa punya tujuan merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Namun, Margarito juga mengatakan tujuan Ormas tidaklah harus sama persis seperti ketentuan dalam Pasal 5 UU Ormas asalkan sesuai dengan nafas Konstitusi.
Terkait tudingan yang mengatakan Pemerintah membatas-batasi ruang gerak dan keberadaan Ormas, Margarito meyakinkan bahwa UU Ormas tidak bersifat intervensif dan represif seperti sebelumnya. Hal itu terlihat dari kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemberhentian sementara terhadap Ormas yang dinilai melanggar Konstitusi dengan terlebih dulu meminta pertimbangan Mahkamah Agung.
“Andai mau tidak diminta (diminta pertimbangan) pun, tidak ada soal. Tetapi justru dalam undang-undang ini dilakukan pembatasan kewenangan yang di masa lalu kita tuduh sebagai tindakan represif atau intervensif itu, yaitu dengan cara membagi kewenangan itu dengan organ lain yang bukan eksekutif. Di tingkat daerah, kewenangan itu dibagi dengan lembaga legislatif, DPRD dan juga kepolisian secara berjenjang. Sehingga saya mesti mengatakan bahwa menurut penilaian keahlian saya, saya tidakdapat mengatakan atau mengkualifikasi konstruksi hukum soal pembagian kewenangan itu sebagai bentuk represif,” tukas Margarito. (Yusti Nurul Agustin/mh)