Pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections) adalah salah satu elemen penting sebuah negara demokrasi, sehingga menjadi sebuah keniscayaan. Dalam pelaksanaanya, Pemilu dibingkai dengan perangkat hukum yang dapat melindungi para pemilih, kandidat, dan para penyelenggara dari segala bentuk intimidasi, penyuapan, penipuan, kekerasan, dan berbagai praktik curang lainnya. Demikian dikatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dalam kuliah umum bertajuk Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Kepala Daerah, di Auditorium Rektorat Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jum’at pagi (24/1).
Menurut Hamdan, untuk mendirikan negara demokrasi yang ideal, harus dibangun dengan sistem yang bagus, tingkat kecerdasan yang bagus, dan aturan lembaga peradilan yang baik dan independen. “Dalam penerapan demokrasi, harus ada perancang demokrasi dengan kepemimpinan yang kuat,” jelasnya.
Dalam kaitan MK dengan demokrasi dan Pemilu, lanjut Hamdan, Undang-undang Dasar memberikan dua aspek kewenangan kepada MK, aspek hulu dan aspek hilir. “Dalam aspek hulu, MK diberikan kewenangan untuk mengawal jalannya demokrasi dengan meluruskan undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dicantumkan dalam konstitusi. Kemudian, aspek hilir merupakan bagian pelaksanaan demokrasi. Kalau ada pelaksanaan demokrasi yang menyimpang, sebagai contoh Pemilu sebagai salah satu prinsip demokrasi, dapat dibatalkan oleh MK,” tegas Hamdan.
Di akhir materi, Hamdan menyimpulkan, bukanlah pekerjaan yang mudah ketika sengketa Pemilukada yang sebenarnya bukan Pemilu sebagaimana yang diamanatkan Pasal 22 (E) UUD 1945 menjadi bagian dari tugas Mahkamah Konstitusi. Dengan berubahnya nomenklatur Pemilukada berakibat tunduknya penyelenggaraan Pemilukada pada prinsip Pemilu yang jujur dan adil, maka secara tidak langsung telah mengikat Mahkamah Konstitusi termasuk hakim-hakimnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus masalah pemilukada yang sangat kompleks.
“Salah satu problem yang dihadapi Mahkamah Konstitusi saat ini adalah harus menangani perkara konkret dalam Pemilukada yang jumlahnya tidak sedikit. Karena itu, dimasa yang akan datang, idealnya, penyelesaian perselisihan hasil pemilukada tidak lagi menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun jika pilihan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada masih dipercayakan ke Mahkamah Konstitusi, paling tidak harus ada evaluasi total sebagai bentuk pembenahan terhadap penegakan hukum, serta Mahkamah Konstitusi sendiri pada khususnya,” tutup Hamdan. (ddy/mh)