Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayara Utang (UU Kepailitan) kembali diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh legal manager PT Daya Radar Utama, Muhammad Idris.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon keberatan dengan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan karena dianggap melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai perwakilan badan hukum privat. Pasal 242 ayat (2) UU tersebut menyatakan “Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan segerap setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta debitor”.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan tidak mencerminkan asas kepastian hukum karena menggugurkan sita yang telah dilaksanakan terlebih dahulu kurang lebih dua tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). “Pemohon telah mengajukan gugatan, namun tidak bisa menggunakan sita jaminan karena adanya putusan pengadilan,” ujar Idris.
Pemohon menilai tidak memperoleh haknya karena dibatasi dan dihalangi oleh ketentuan tersebut, yang secara limitatif memberikan kewenangan kepada hakim pengawas dan pengurus PKPU mencabut penetapan sita jaminan yang telah dilaksanakan Pengadilan Negeri terlebih dahulu kurang lebih dua tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam PKPU. “Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” paparnya.
Perbaikan Permohonan
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Muhammad Alim, memberikan saran perbaikan bagi pemohon. Muhammad Alim menyarankan agar pemohon mengubah kedudukan hukumnya. “Pemohon sebagai legal manager itu memiliki hak konstitusional sebagai apa? Perseorangan atau badan hukum privat? Ini harus dijelaskan,” paparnya.
Selain itu, Pemohon diminta memperbaiki alasan permohonan karena dianggap dalil yang disampaikan berkaitan dengan kasus konkret. “Di MK ini tidak menguji kasus konkret, tapi konstitusionalitas norma,” jelasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk meperbaiki permohonan. Sidang berikutnya beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)