Mahkamah Konstitusi memutus mengabulkan permohonan tiga orang dosen dari Fakultas Hukum Universitas Sahid, yaitu Made Dharma Weda, RM Panggabean dan ST. Laksanto Utomo, dalam pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dan UU Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) yang mengatur tata cara seleksi Hakim Agung.
Dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 27/PUU-XI/2013, Kamis, (9/01/2013), yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, MK dalam bagian pertimbangannya menyatakan, dalam risalah pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya mengenai pembentukan KY dapat dibaca dengan jelas bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri adalah untuk melakukan rekrutmen terhadap hakim agung yang akan diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui dan ditetapkan oleh Presiden.
Hal tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Agun Gunanjar Sudarsa (anggota PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tanggal 10 Oktober 2001, yang menyatakan, “... dalam Pasal 24B ini, kami menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan diberhentikan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisial. Nah, sehingga dengan kata-kata ‘dengan persetujuan DPR’, DPR itu tidak lagi melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi melakukan proses seleksi, tetapi DPR hanya memberikan persetujuan atau menolak sejumlah calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Kembali kami menekankan, agar kekuasaan kehakiman yang merdeka itu tidak terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik”.
Mahkamah berpendapat, catatan risalah perubahan UUD 1945, menjelaskan dengan sangat gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Dengan demikian, posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya.
Lebih lanjut dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan tersebut telah mengubah kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan” menjadi kewenangan untuk “memilih” calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Demikian juga, ketentuan dalam kedua Undang-Undang tersebut, yang mengharuskan KY untuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk setiap lowongan hakim agung, juga bertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.
Maka agar ketentuan kedua Undang-Undang tersebut tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut Mahkamah kata “dipilih” oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai sebagai “persetujuan”. Demikian juga frasa “3 (tiga) nama calon” yang termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus dimaknai “1 (satu) nama calon”, sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR.
Tidak Diterima
Sementara terhadap perkara 25/PUU-XI/2013 yang diajukan Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau, Syafrinaldi, Mahkamah memutus tidak dapat menerima permohonan pemohon. Menurut Mahkamah, Pasal 8 ayat (1) UU MA yang dimohon oleh pemohon tidak bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karena penetapan hakim agung oleh Presiden dalam Pasal 8 ayat (1) UU MA merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai pengangkatan hakim agung tersebut.
Sedangkan dalam pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, menurut Mahkamah pada hakikatnya permohonan dan alasan-alasan Pemohon dalam permohonan tersebut sama dengan permohonan dan alasan-alasan para Pemohon dalam permohonan Nomor 27/PUU-XI/2013. Dengan demikian pertimbangan Mahkamah untuk Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon juga sama dalam pertimbangan Mahkamah untuk Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dalam Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-XI/2013, yang lebih dahulu diucapkan.
Dengan putusan tersebut maka kewenangan untuk melakukan seleksi calon Hakim Agung pada MA berada di tangan KY, untuk kemudian disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. (Ilham/mh)