Persidangan pengujian materi UU No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan- perusahaan Milik Belanda kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi dan memasuki sidang kedua, Selasa siang (22/10/2013), dihadiri oleh para kuasa hukum Pemohon, Subali dan rekan.
Dalam perbaikan permohonan yang telah dimasukkan ke Kepaniteraan, Subali kembali menajamkan kerugian konkret yang dialami Pemohon Prinsipal, RR Kamarijah yang terancam harus meninggalkan lahan tanah yang telah ini ditempatinya sejak 1950.
Padahal menurutnya, pemerintah dalam hal ini PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak dapat melakukan nasionalisasi terhadap lahan tanah seluas 169. M² di Jalan Imam Bonjol No. 21B, Kelurahan Purwasari, Kecamatan Semarang Utara, karena Pemohon telah menempati lahan tersebut sejak tahun 1950, jauh sebelum UU Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda disahkan ditahun 1958.
“Nasionalisasi aset-aset milik Belanda hanya merupakan rekayasa untuk merebut hak tanah milik warga dan telah melanggar hak konstitusional Pemohon, sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi,” ucap Subali dihadapan Majelis Hakim yang dipimpin Maria Farida.
Subali membenarkan bahwa pemerintah memang berhak sepenuhnya melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset yang dulu dimiliki Belanda, namun hendaknya proses tersebut tidak melanggar hukum dan tetap memperhatikan hak-hak warga yang telah menempati lahan tersebut sebelum UU disahkan.
Ia menambahkan, aksi serobot lahan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dialami oleh Pemohon, RR Kamarijah di Kota Semarang, namun juga warga di berbagai daerah. “Tidak hanya di Semarang, namun peristiwa yang sama juga terjadi di sejumlah tempat seperti Surabaya, Madiun, Magelang, dll, ” urainya.
Karena itu, pihaknya berharap penentuan nasionalisasi aset Belanda harus tetap memperhatikan kepentingan warga negara agar tercipta kepastian hukum yang adil. (Julie/mh)