Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang perkara nomor 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang menguji Undang-Undang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), pada Selasa (24/9) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam persidangan kali ini, hadir tiga ahli dari Pemerintah yakni Siswo Sujanto , Muksan, dan Miko Kamal.
Dalam pandangan ahlinya, Siswo Sujanto mengungkapkan, adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa terdapat kekayaan negara yang dipisahkan, tidak mengabaikan kewajiban lembaga pengelola keuangan tersebut untuk mengelola keuangannya secara profesional dan bertanggungjawab sesuai mekanisme pengelolaan keuangan negara. Oleh sebab itu, menurutnya, otoritas pengelolaan keuangan, baik yang dipisahkan maupun tidak dipisahakan, tetap di bawah pengawasan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan BPK.
“Bahwa pada saat ini banyak pejabat di universitas maupun BUMN yang terjerat kasus korupsi di instansi masing-masing, yang menurut saya sebagai ahli hukum keuangan negara saat mendampingi jaksa penuntut umum, lebih banyak disebabkan karena tindakan mereka yang tidak dapat dikatergorikan profesional sesuai dengan norma profesionalitas di bidang tata kelola keuangan yang berterima umum atau general accepted financial management. Dari sudut materi, tampak bahwa kelompok yang mengajukan pengujian undang-undang tersebut tidak atau kurang memahami konsepsi tentang keuangan negara yang dianut oleh UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” papar Siswo yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Tim Kecil Penyusunan Rancangan UU Bidang Hukum Keuangan Negara.
Sementara itu ahli lainnya, Muksan, menjelaskan bahwa dalam UU Keuangan Negara sebagaimana diuji oleh Pemohon, terdapat empat bidang pengelolaan keuangan negara, yakni pertama, keuangan negara yang dikelola langsung oleh Pemerintah, dalam hal ini APBN dan APBD. Kedua, keuangan negara yang dikelola oleh bank-bank pemerintah atau bank negara. Ketiga, keuangan negara yang dipisahkan yakni antara lian yang dikelola oleh BUMN dan BUMD. Keempat, semua aset atau kekayaan negara yang dapat dinilai dengan uang.
Adanya pembagian tersebut, lanjut Muksan, justru menjamin kepastian hukum. “Dikarenakan yang tadinya di dalam Pasal 23 Ayat (1) (UUD 1945) itu kosong, rechts vacuum, keuangan negara tidak dijabarkan secara detil, disini malah dijabarkan secara detil. Dan penjabarannya menggunakan sumber hukum yang tertinggi, yaitu teori,” ungkapnya. Oleh sebab itu ia menegaskan, UU Keuangan Negara ini merupakan undang-undang organik yang tidak sepatutnya diuji konstitusionalitasnya oleh para Pemohon.
Selain itu, menurut dia, jika keuangan atau kekayaan negara yang dimiliki oleh BUMN maupun BUMD dikelola secara mandiri dan benar-benar terpisah dari kekayaan negara, maka dikhawatirkan pengelolaannya akan jauh dari semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Muksan berpandangan, jika kekayaan BUMN atau BUMD lepas dari keuangan negara, maka orientasinya adalah untung rugi (profit oriented) sehingga keinginan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan terpenuhi. “Kata-kata ‘dipisahkan’ dalam UU 17 Tahun 2003 artinya dipisahkan dari APBN atau APBD, bukan berarti mandiri. Ini merupakan satu kesatuan kekayaan negara atau keuangan negara, tidak lepas dari keuangan negara,” imbuhnya.
Oleh karena itu ia berkesimpulan, ketentuan yang diuji oleh para Pemohon, tidak bertentangan dengan UUD 1945, tapi malah justru sebaliknya, menjamin kepastian hukum lembaga pengelola keuangan, seperti BUMN dan BUMD.
Di samping itu, Miko Kamal menambahkan, dengan berlakunya ketentuan yang diuji oleh para Pemohon tersebut, telah membuka ruang kepada BPK untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan yang ada pada BUMN ataupun BUMD, sehingga dapat mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang akan bermuara pada kerugian negara. “Dengan adanya pasal-pasal ini pihak-pihak yang bermaksud krumuktumuk di BUMN tidak akan bisa melakukan aksi mereka dengan bebas.”
“Kehadiran Pasal 2 huruf g dan i UU Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a UU Nomor 15 Tahun 2006 tidak hanya sekadar merintangi krumuktumuk di 141 BUMN saja, yang beraset sekitar 2.950 Triliun tapi akan menyelamatkan 1.113 BUMD yang tersebar diseluruh Indonesia dengan total aset sekitar 3.343 Triliun. Potensi krumuktumuk sangat besar terjadi di BUMD yang pengawasnnya jauh lebih lemah dibandingkan BUMN,” tuturnya. (Dodi/mh)