Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan dua perkara Pengujian UU Ketenagakerjaan bernomor 67/PUU-XI/2013 dan 69/PUU-XI/2013, Selasa (10/9). Pada sidang kali ini Para Pemohon menghadirkan saksi dan ahli yang mengungkapkan adanya ketidakberdayaan buruh dalam menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemohon perkara No. 69/PUU-XI/2013 ini yaitu Jazuli, Anam Supriyanto, dan Wariaji menghadirkan saksi bernama Eka Hernawati. Eka menjelaskan bahwa ia adalah seorang pekerja yang mengikuti serikat pekerja. Eka mengaku awalnya di-skors oleh pihak perusahaan tempatnya bekerja, PT Kurnia Anggun, dan dilaporkan oleh perusahaannya ke Polda Jawa Timur. Saat dilaporkan itu kasus Eka dilimpahkan ke Polres Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
Eka pun menjelaskan bahwa selama masa skorsing ia tidak diberi upah oleh pihak PT Kurnia Anggun. Namun, setelah kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Kabupaten Mojokerto dan diputus tanggal 31 Maret 2010, Eka dinyatakan tidak bersalah. Dari putusan banding yang dilayangkan oleh PT Kurnia Anggun, Mahkamah Agung pun menyatakan Eka tidak bersalah. Meski dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, Eka tetap di-PHK oleh PT Kurnia Anggun dengan alasan disharmonis. “Dari putusan tersebut saya tidak lagi bisa bekerja karena perusahaan menggugat saya di PHI dengan gugatan PHK yang akhirnya PHK itu terlaksana karena dengan alasan disharmonis,” jelas Eka.
Perlu Proteksi Langsung
Sementara itu Pemohon No. 67/PUU-XI/2013 menghadirkan Timboel Siregar selaku Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia sebagai ahli. Siregar mengungkapkan bahwa kondisi riil buruh di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP. Dilihat dari upah para buruh di 33 provinsi di Indonesia, lanjut Siregar, ternyata hanya 11 provinsi yang mempunyai upah minimum 100 persen Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Meski upah buruh minim, Siregar menegaskan bahwa buruh tidak termasuk dalam kelompok miskin yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga tidak mendapatkan fasilitas untuk kelompok miskin seperti Jamkesmas dan BLSM. “Buruh itu dianggap kelompok menengah, tapi faktanya buruh itu hanya mendapatkan sebatas upah yang belum mencapai KHL. Enam puluh tiga persen buruh formal saat ini menurut data Kemenakertrans mendapatkan upah sebatas upah minimum atau di bawahnya,” ungkap Siregar.
Kondisi buruh semakin mengenaskan ketika mereka harus mengalami PHK dan tidak mendapat pesangon yang layak. Pasalnya, buruh yang di-PHK hanya sedikit mendapatkan jaminan sosial sehingga pemerintah seharusnya memiliki kebijakan untuk bisa menanggung kehidupan buruh ketika di-PHK. “Memang harus ada kebijakan pemerintah yang bisa menanggung buruh. Ketika buruh di-PHK dia tidak akan kesulitan bila ada tunjangan pengangguran, seperti yang ada di Konvesi ILO Nomor 102. Tetapi pemerintah saat ini belum meratifikasinya dan masih mengedepankan lima program saja yaitu jaminan kematian, kecelakaan kerja, JHT (Jaminan Hari Tua), jaminan kesehatan, dan jaminan pensiun,” papar Siregar.
Siregar pun menegaskan perlunya sebuah proteksi langsung bagi buruh ketika mengalami PHK dengan alasan apa pun, termasuk pailit. Proteksi tersebut sebenarnya menurut Siregar sudah diatur sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam bentuk kompensasi PHK yang diatur dalam Pasal 165 ketika terjadi proses pailit. (Yusti Nurul Agustin/mh)