Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) ingin membangun koperasi setara dengan badan hukum yang lain. Hal ini disampaikan oleh anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul dalam pengujian UU Perkoperasian yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (9/9). Sidang lanjutan perkara dengan Nomor 60/PUU-XI/2013 ini dipimpin oleh ketua Mk M. Akil Mochtar.
“UU Perkoperasian juga bertujuan untuk meningkatkan peran dan fungsi koperasi secara maksimal dan modern sehingga dapat menghasilkan pendapatan bagi para anggotanya khususnya dan masyarakat pada umumnya dengan tetap menjalankan prinsip koperasi yang mengedepankan prinsip kekeluargaan dan kesejahteraan bersama,” ujar Ruhut di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon menafsirkan bahwa hanya ada satu wadah koperasi, yakni Dekopin. Padahal, lanjut Ruhut, tidak ada pasal dalam UU Perkoperasian yang menyebut bahwa Dekopin hanya satu-satunya wadah tunggal bagi gerakan koperasi untuk berorganisasi. “Padahal Pasal 17 UU a quo gerakan koperasi merujuk pada keseluruhan organisasi koperasi dan tidak satupun yang mengarahkan pada pembentukan organisasi atau wadah tunggal dengan maksud mencegah organisasi koperasi lainnya,” tuturnya.
Dilihat utuh
Sementara itu, perwakilan Pemerintah Setyo Heriyanto mengungkapkan tidak bisa melihat UU Perkoperasian secara terpisah dan harus dilihat secara utuh. Pengesahan UU Perkoperasian adalah untuk menumbuhkan koperasi yang kuat, sehat, mandiri, dan tangguh.
“Para Pemohon tidak secara jeli dan komprehensif dalam memahami UU Perkoperasian, dengan perkataan lain anggapan-anggapan Para Pemohon tidak terkait sama sekali dengan isu konstitusionalitas keberlakuan materi muata yang dimohonkan untuk diuji tersebut,” urainya.
Pemohon terdiri dari Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPek), serta beberapa Pemohon perseorangan berkeberatan dengan beberapa pasal dalam UU Perkoperasian. Menurut Pemohon, definisi koperasi menurut UU Perkoperasian yang menempatkan koperasi hanya sebagai “badan hukum” dan/atau sebagai subjek secara nyata bertentangan dengan cita-cita ideologi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendefinisian koperasi tersebut berakibat pada “korporatisasi koperasi”, yakni munculnya perusahaan yang mengaku sebagai koperasi yang berstatus badan hukum koperasi, namun tidak memiliki jati diri koperasi dan tidak melakukan prinsip-prinsip koperasi dan hanya melakukan urusan bisnis semata.
Sementara mengenai modal penyertaan, maka anggota-anggota koperasi akan menjadi objek ekspolitasi, menciptakan ketergantungan, hilang prakarsanya dan pada akhirnya mengakibatkan partisipasi yang rendah dari anggota-anggotanya terhadap koperasi. Kemudian, ketentuan mengenai Dewan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1angka 18, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117 dan Pasal 118, dan Pasal 119 UU Perkoperasian adalah telah nyata-nyata menjadikan posisi gerakan koperasi menjadi bagian dari subordinat dari pihak luar dan menghilangkan otonomi dari gerakan koperasi yang seharusnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan. (Lulu Anjarsari/mh)