Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi (UU Perkoperasian) kembali diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh beberapa yayasan dan perkoperasian pada Senin (8/7). Sidang perbaikan permohonan perkara dengan Nomor 60/PUU-XI/2013 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
“Saran Majelis Hakim untuk melihat permohonan Nomor 28/PUU-XI/2013 sudah kami lakukan dan memang ada persamaan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Edi H. Gurning.
Menurut Gurning, Pemohon akan tetap mengujikan mengenai frase ‘badan hukum’ seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 11 UU Perkoperasian. “Jika pada awalnya kami menguji keseluruhan pasal dalam UU perkoperasian, maka sekarang kami mengarah pada badan hukum.”
Sedangkan mengenai frase “modal penyertaan”, lanjut Gurning, Pemohon hanya akan fokus pada Pasal 1 angka 11 UU Perkoperasian. “Modal penyertaan, pada permohonan lalu, kami menguji terhadap beberapa frase modal penyertaan, namun pada permohonan ini hanya menguji Pasal 1 angka 11,” ujarnya.
Pemohon terdiri dari Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPek), serta beberapa Pemohon perseorangan berkeberatan dengan beberapa pasal dalam UU Perkoperasian. Menurut Pemohon, definisi koperasi menurut UU Perkoperasian yang menempatkan koperasi hanya sebagai “badan hukum” dan/atau sebagai subjek secara nyata bertentangan dengan cita-cita ideologi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendefinisian koperasi tersebut berakibat pada “korporatisasi Koperasi”, yakni munculnya perusahaan yang mengaku sebagai koperasi yang berstatus badan hukum koperasi, namun tidak memiliki jati diri koperasi dan tidak melakukan prinsip-prinsip koperasi dan hanya melakukan urusan bisnis semata.
Sementara mengenai modal penyertaan, maka anggota-anggota koperasi akan menjadi objek ekspolitasi, menciptakan ketergantungan, hilang prakarsanya dan pada akhirnya mengakibatkan partisipasi yang rendah dari anggota-anggotanya terhadap koperasi. Kemudian, ketentuan mengenai Dewan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1angka 18, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117 dan Pasal 118, dan Pasal 119 UU Perkoperasian adalah telah nyata-nyata menjadikan posisi gerakan koperasi menjadi bagian dari subordinat dari pihak luar dan menghilangkan otonomi dari gerakan koperasi yang seharusnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan. (Lulu Anjarsari/mh)