Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Rumah Sakit yang dimohonkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis (27/6). Pada sidang kali ini Pemohon menghadirkan saksi yang merupakan direktur-direktur Rumah Sakit Muhammadiyah di berbagai daerah. Para saksi mengungkapkan bahwa RS yang mereka pimpin tidak mendapat izin karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Saksi Pemohon pertama, yakni dokter Muhammad Ma’mun Syukri yang merupakan Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah Delangu, Klaten, mengatakan RS yang dipimpinnya merupakan RS umum milik Muhammadiyah. Ma’mun mengatakan izin tetap untuk RS Muhammadiyah Delangu sudah berakhir pada Oktober 2009. Namun, sebagai direktur, Ma’mun sudah mengajukan izin empat bulan sebelum izin habis ke Dinas Kesehatan Klaten dan KPT (Kantor Pelayanan Terpadu) Kabupaten Klaten. Pada saat itu, pertama kalinya dinas yang memberikan izin untuk RS, sebelumnya yang memberikan izin adalah Departemen Kesehatan Pusat.
Ma’mun lalu mengatakan, selama Agustus sampai Oktober 2009 ternyata izin tidak keluar. Alasannya, Dinas Kesehatan Kleten baru pertama kali melayani perpanjangan izin dan adanya undang-undang baru. “Jadi selama sembilan bulan, rumah sakit yang saya pimpin tidak ada izinnya. Setelah didesak terus akhirnya pada Agustus 2010 diterbitkan izin sementara untuk satu tahun saja, setelah itu harus ada izin tetap. Izin tetap itu harus sesuai syarat-syarat yang ditentukan,” jelas Ma’mun.
Selama satu tahun masa berlakunya izin sementara itu, Ma’mun mengaku menjalin komunikasi yang intensif dengan pemerintah dan KPT Kabupaten Klaten. Namun, sampai izin sementara berakhir, kami tetap tidak mendapatkan izin tetap. Jadi selama dua bulan kemudian juga tidak punya izin. Setelah dua bulan kami masih mendesak terus, bahkan sampai ke Kementerian Kesehatan. Lalu dijawab akan ada Permenkes yang mengatur perizinan tersebut. Setelah dua bulan vakum, baru terbitlah izin tetap dengan catatan, perizinan harus dilengkapi selama setahun,” urai Ma’mun.
Kemudian, Ma’mun mengungkapkan selama massa vakum tanpa izin, Ma’mun mengaku khawatir dan manajemen rumah sakit sangat kacau karena tidak punya izin. Kasus-kasus sulit akhirnya harus RS Muhammadiyah Delangu rujuk sebab Ma’mun takut dengan risikonya yang besar dan belum turunnya izin tetap. Ma’mun mengungkapkan kerugian yang pihaknya rasakan, yakni bila sebelumnya banyak pasien yang berobat ke RS Muhammadiyah Delangu namun karena tidak ada izin akhirnya dalam satu bulan bisa mencapai 40 kasus yang harus dirujuk ke RS lain. “Selama tidak ada izin, kami tidak bisa kerja sama dengan pihak ketiga seperti ASKES dan asuransi-asuransi lainnya karena kami tidak punya izin, Yang Mulia,” tukas Ma’mun.
Hal senada juga diungkapkan dokter gigi Edi Sumarwanto yang juga menjabat sebagai Direktur RS Muhammadiyah Kendal dan Pengurus Majelis Kesehatan MPKU Muhammadiyah. Edi mengaku sebagai saksi lahirnya UU RS yang membuat posisi Majelis Kesehatan MPKU Muhammadiyah mengalami kesulitan.
Edi memberikan contoh, RS ibu dan anak milik Muhammadiyah yang memiliki izin dari Departemen Kesehatan dan bertanda tangan Dirjen Pelayanan Medik Depkes. Namun, izin tersebut habis tahun 2010. Setelah izinnya habis dan RS tersebut dinilai maju, maka RS tersebut ingin “naik kelas” dengan menjadi rumah sakit umum. Sesuai dengan UU RS, dinas kesehatan meminta harus ada badan hukum khusus yang hanya membawahi rumah sakit.
Memenuhi hal itu, Perserikatan Muhammadiyah yang memiliki RS ibu anak tersebut membentuk yayasan yang berbadan hukum sendiri untuk mendapatkan izin dimaksud. Namun, yang terjadi status dokter dan pegawai lainnya yang sebelumnya berstatus pegawai Muhammadiyah berubah menjadi dokter dan pegawai yayasan tersebut. Sayangnya, setelah maju dan memiliki izin, RS ibu dan anak yang sudah eksis tersebut sulit untuk diajak “sepaham” dengan Muhammadiyah.
“Yayasan yang baru merasa lebih mandiri sehingga kebijakan dan programnya kadang tidak segaris dengan kebijakan Muhammadiyah. RS jadi sulit diajak bertemu dalam bermusyawarah karena memiliki yayasan yang mandiri. Sehingga, kami sebagai Pengurus Majelis Kesehatan Muhammadiyah merasa RS itu hilang dari kepemilikan Muhammadiyah. Kemudian timbul kerugian materi maupun non materi akibat hal itu. Aset-aset yang ada jadi seperti bukan milik Muhammadiyah lagi. Ini Cuma satu contoh rumah sakit, padahal RS muhammadiyah sangat banyak,” papar Edi mengenai kerugian yang diderita Muhammadiyah akibat berlakukan ketentuan RS harus berbadan hukum sendiri yang hanya mengurus soal rumah sakit.
Sebagaimana diketahui, PP Muhammadiyah menguji Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang dianggap inkonstitusional. Pemohon perkara No. 38/PUU-XI/2013 ini sebelumnya menjelaskan RS yang didirikan swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Ketentuan ini mereduksi hak konstitusionalnya sebagai persyarikatan yang telah mempunyai status badan hukum yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut sama dengan tidak mengakui hak bersyarikat dan berkumpul Pemohon dalam wujud Persyarikatan Muhammadiyah yang telah diakui oleh negara sejak sebelum kemerdekaan.
Selain itu, Pasal 17 UU RS yang menentukan RS yang tidak memenuhi persyaratan tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional RS, menyebabkan semua RS Muhammadiyah yang dimiliki Pemohon menjadi tidak memiliki kepastian hukum hanya karena didirikan dan dimiliki oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang tidak didirikan dalam bentuk badan hukum khusus tentang rumah sakit. Selain itu, ketentuan Pasal 62 dan 63 UU RS jelas sangat bertentangan dengan hak Pemohon yang mempunyai amal usaha rumah sakit yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang dijamin konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)