Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang pengujian Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) dalam perkara nomor 30/PUU-XI/2013. Pemohon yang terdiri dari tiga pengusaha dan tujuh orang pengguna jasa pusat kebugaran atau fitness center mempersoalkan ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD yang mengatur pengenaan pajak hiburan terhadap jasa pusat kebugaran atau fitness center.
Dalam sidang dipimpin oleh ketua MK M. Akil Mochtar, Senin (10/06), pemerintah mengajukan dua orang saksi dan dua orang ahli untuk memberikan penjelasan kepada Majelis Hakim Konstitusi dan Para Pemohon perihal pengenaan pajak hiburan terhadap jasa pusat kebugaran.
Salah satu ahli yang diajukan pemerintah, Prof. Candra Fajri Ananda, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, menyatakan pusat kebugaran yang dimaksud dalam UU PDRD bukan merupakan bentuk pelayanan kesehatan dasar dan primer. Selain itu yang menggunakan jasa tersebut adalah golongan tertentu atau tingkat pendapatan tertentu yang fungsinya lebih kepada pemenuhan hiburan atau gaya hidup yang menjadi tren pada kelompok masyarakat tertentu. Menurutnya adalah wajar jika kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan untuk membayar lebih dibanding masyarakat lain ini dikenakan pajak yang lebih besar.
Hal senada juga dilontarkan oleh Hefrizal Handra, ahli keuangan negara Universitas Andalas Sumatra Barat. Dalam keterangannya sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah, Hefrizal menegaskan pengenaan pajak hiburan terhadap jasa pusat kebugaran bukanlah diskriminasi, karena masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi rendah tetap dapat hidup sehat dengan melakukan olahraga tanpa harus menggunakan fasilitas jasa pusat kebugaran. Menurutnya jika adanya pengenaan pajak yang berbeda dianggap diskriminatif, berarti sama saja menganggap pembebasan pajak bagi orang miskin juga dapat dianggap diskriminatif.
Hefrizal menyayangkan upaya pengujian UU yang diajukan Pemohon, karena permohonan ini lebih condong kepada upaya dari kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggungnya. Ahli menegaskan permohonan tersebut lemah dan tidak ketentuan pajak hiburan terhadap jasa pusat kebugaran tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD)
Sementara itu, dua orang saksi yang diajukan pemerintah yaitu Iwan Setiawandi, Kepala Dinas Pelayanan pajak Provinsi DKI Jakarta, dan Suhartojo, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya, keduanya menerangkan selama ini mengenakan pajak hiburan terhadap jasa pusat kebugaran sebesar 10%, jauh di bawah batasan 35% sebagaimana diatur dalam UU. Menurut keduanya besaran prosentase tersebut tidak dapat dinaikan oleh pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten, karena tidak boleh menetapkan besaran pajak hiburan melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah provinsi yang menetapkan pajak hiburan sebesar 10% untuk jasa pusat kebugaran.
Terhadap proses persidangan ini Majelis Hakim Konstitusi menilai pemeriksaan dirasa cukup, dan masing-masing pihak baik Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah diminta untuk menyerahkan kesimpulan paling lambat pada hari Senin (17/6) kepada Kepaniteraan MK. (Ilham/mh)