Samadi Singarimbun yang diwakili kuasa hukumnya Tonin Tachta Singarimbun menjelaskan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh ketua MK M. Akil Mochtar bahwa Pemohon telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), Rabu (29/05/2013).
Pasal yang diujikan tersebut berbunyi, ”surat putusan pemidanaan memuat : a. ….. i. ….. k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan”, karena dalam putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA), tidak dicantumkan perintah agar Pemohon ditahan. Tonin berpendapat tidak dicantumkan sesuai isi pasal tersebut dalam putusan, mengakibatkan putusan MA batal demi hukum.
Lebih lanjut Tonin juga mepersoalkan Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP dan 27 ayat (1) huruf b UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) yang mengatur kewenangan jaksa untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan. Menurutnya, pasal ini telah disalahgunakan oleh jaksa untuk bertindak sewenang-wenang, karena meski dalam putusan pengadilan tidak dicantumkan perintah untuk menahan terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, namun jaksa tetap melakukan penahanan terhadap terdakwa berdasar putusan yang batal demi hukum tersebut. Tonin meminta kepada MK agar ketentuan pencantuman penahanan juga berlaku dalam putusan Pengadilan Tinggi (PT) dan putusan MA.
Beda Tafsir
Sementara itu, Taufik Basari dalam permohonannya untuk menguji Pasal 197 ayat (1) huruf k memaparkan mengenai polemik yang terjadi di kalangan penegak hukum, akibat perbedaan penafsiran frasa “ditahan” dan “tahanan” yang terdapat dalam pasal 197 ayat (1) huruf k. Taufik menjelaskan bahwa permohonan terhadap pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut pernah diperiksa dan diputus oleh MK dalam nomor perkara 69/PUU-X/2012.
Taufik menjelaskan, dalam putusan MK tersebut menyatakan menolak permohonan pemohon dan menyatakan pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, dan menyatakan putusan pemidanaan yang tidak menyantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Namun MK dalam amar putusannya justru memberikan penafsiran konstitusional terhadap Pasal 197 ayat (2), tidak dicantumkannya ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k dalam putusan pengadilan tidak mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum.
Menurutnya, meski MK telah mengeluarkan putusan dalam pengujian pasal yang diajukan oleh Parlin Riduansyah tersebut, namun putusan itu dirasa tidak lengkap sehingga menyebabkan adanya penafsiran berbeda dari kalangan penegak hukum, dan banyak pihak-pihak tertentu yang memelintir serta menyalahgunakan makna pasal 197 ayat (1) huruf k dengan menggunakan putusan MK. Hal tersebut terbukti dari konflik antara Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dalam ini Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar), dalam kasus eksekusi Susno Duadji.
Taufik berpendapat frasa “ditahan” dan “penahanan” dalam pasal yang dimohonkan tersebut mengatur soal penahanan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan sidang yang tidak memiliki kaitan dengan pemidanaan, sehingga dirinya meminta kepada MK memberikan tafsir konstitusional agar pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sepanjang frasa “ditahan” dan “penahanan” tersebut ditafsirkan berdasar definisi yang terdapat dalam KUHAP, yaitu untuk kepentingan pemeriksaan sidang, bukan penahanan dalam kaitannya dengan putusan pidana pengadilan.
MK dalam perkara ini menggelar sidang pemeriksaan permohonan yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi briket batubara, Samdi Singarimbun, perkara 43/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Hukum Acara Pidana atau dikenal KUHAP dan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Sidang perkara tersebut digabungkan dengan pemeriksaan perkara nomor 53/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh advokat Taufik Basari yang melakukan pengujian terhadap KUHAP. (Ilham/mh)