Polemik yang terjadi di kalangan penegak hukum akibat perbedaan penafsiran frasa “ditahan” dan “tahanan” yang terdapat dalam pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang (UU) nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, mendorong Taufik Basari yang berprofesi sebagai advokat mengajukan permohonan pengujian KUHAP dan meminta penafsiran konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kedua frasa tersebut. Perintah menyangkut status penahanan, apakah terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan, menurut Pasal 197 ayat (1) harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan.
Dalam sidang pendahuluan pemeriksaan perkara 53/PUU-XI/2013, Rabu 15/05/2013, Taufik Basari menjelaskan kepada majelis hakim konstitusi yang dipimpin ketua MK M. Akil Mochtar, bahwa permohonan terhadap pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut pernah diperiksa dan diputus oleh MK dalam nomor perkara 69/PUU-X/2012, dimana dalam putusannya MK menyatakan menolak permohonan Pemohon dan menyatakan pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, dan menyatakan putusan pemidanaan yang tidak menyantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Namun Taufik menyatakan argumentasi dalam pengujian kali ini berbeda dengan permohonan sebelumnya.
Taufik mengungkapkan, meski MK telah mengeluarkan putusan dalam pengujian pasal yang diajukan oleh Parlin Riduansyah tersebut, namun putusan itu menyebabkan adanya penafsiran berbeda dari kalangan penegak hukum, dan banyak pihak-pihak tertentu yang memelintir makna pasal 197 ayat (1) huruf k dengan menggunakan putusan MK. Hal tersebut terbukti dari konflik antara Kejaksaan dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dalam ini Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar), dalam kasus eksekusi Susno Duadji.
Taufik berpendapat frasa “ditahan” dan “tahanan” dalam pasal yang dimohonkan tersebut mengatur soal penahanan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan sidang yang tidak memiliki kaitan dengan pemidanaan, sehingga dirinya meminta kepada MK memberikan tafsir konstitusional agar pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sepanjang frasa “ditahan” dan “tahanan” tersebut ditafsirkan berdasar definisi yang terdapat dalam KUHAP, yaitu untuk kepentingan pemeriksaan sidang.
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memberikan nasihat, bahwa sebenarnya putusan MK dalam perkara sebelunya sudah jelas, tanpa disebutkan ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k putusan pidana pengadilan tetap sah dan tidak batal demi hukum, sehingga perdebatan penafsiran seharusnya sudah selesai.
Sementara Akil Mochtar mennyinggung permohonan Pemohon yang dipandang mempersoalkan kembali putusan MK. “Saudara memancing kami untuk memperdebatkan putusan MK,” ujar Akil. Menurut Akil, argumentasi yang diajukan Pemohon lebih banyak berkutat pada jaminan kepastian hukum yang adil, dan itu tidak berbeda dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus MK. Akil juga mempertanyakan contoh polemik yang dikemukakan Pemohon. “Apakah benar putusan tersebut menimbulkan polemik? Apakah benar polemik tersebut menimbulkan kerugian konstitusional?” tanya Akil.
Menurutnya, setiap putusan MK selalu menjadi kontroversial dan itu hal yang biasa, apa lagi putusan yang menjadi landmark. Akil meminta kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, terutama soal argumentasi polemik yang dikemukakan Pemohon, apakah polemik tersebut merupakan polemik hukum hukum ataukah itu memang polemik konstitusionalitas norma yang memang menjadi wewenang MK untuk menyelesaikannya.
Usai persidangan Taufik mengungkapkan kemungkinan besar permohonan ini diputus oleh MK tidak dapat diterima, namun dirinya tidak mempersoalkan hal tersebut, karena dengan permohonan ini MK dapat memberikan penjelasan terkait pasal yang dimohonkan olehnya sehinga bisa menghentikan polemik yang terjadi diantara penegak hukum akhir-akhir ini. (Ilham/mh)