Fahmi Ardiansyah, seorang mahasiswa yang menjadi narapidana akibat melakukan pencurian pakaian senilai Rp. 400 ribu mengajukan permohonan pengujian empat UU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Tonin Tachta Singarimbun mengajukan permohonan pengujian UU nomor 5/2004 tentang Mahkamah Agung (MA), UU nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara, UU nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan UU nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Selasa, 14/05/2013.
Pada pokoknya Pemohon menilai keempat UU tersebut membuat MA, Kejaksaan, Kepolisian RI, dan Kemenkumham tidak patuh terhadap nota kesepahaman yang dibuat oleh keempat institusi tersebut berdasar Surat Edaran MA (SEMA) dan Peraturan MA (Perma). Dalam nota kesepahaman, SEMA, dan Perma tersebut dinyatakan bahwa terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang nilainya di bawah Rp. 2,5 juta termasuk dalam kategori tindak pidana ringan (tipiring). Tonin menyatakan seharusnya kliennya tidak perlu dipenjara selama 3 bulan 15 hari, jika keempat institusi hukum tersebut patuh dalam melaksanakan nota kesepahaman, SEMA dan Perma yang ada yang seharusnya termasuk dalam tipiring.
Nasihat Hakim
Terhadap permohonan dengan nomor perkara 42/PUU-XI/2013 tersebut, Akil Mochtar menyatakan pasal-pasal dan empat UU yang disampaikan Pemohon dalam permohonannya tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan kerugian yang dialami Pemohon. Selain itu Pemohon lebih banyak banyak mempersoalkan implementasi dari norma.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan nasihat agar Pemohon dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dari norma yang diuji dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. “Harap dicari hubungannya antara pasal-pasal dari UU yang diuji oleh pemohon, dengan kasus yang dialami pemohon,” lanjut Anwar. Lebih lanjut Anwar mengingatkan kepada Pemohon, jika permohonan ini dikabulkan bisa menyebabkan MA menjadi lumpuh.
Hal senada juga dilontarkan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, ”Orang kalau ditahan ya memang rugi, tapi bukan kerugian konstitusional,” tegas Fadlil. Menurutnya Pemohon harus dapat menunjukkan pertentangan norma-norma yang diuji dengan beberapa pasal dalam UUD. Bahkan Fadlil mempertanyakan maksud permohonan itu.
“Coba kuasa hukum tanyakan kembali kepada klien anda maunya apa? Apakah MA tidak boleh mengadili, apakah kejaksaan tidak boleh melakukan penututan lagi, polisi tidak boleh melakukan penahanan?” tanya Fadlil.
Menanggapi nasihat Majelis Hakim, Tonin Tachta menyatakan pihaknya pernah menyatakan keberatan kepada hakim di pengadilan mengenai SEMA dan Perma yang membebaskan pelaku tipiring dari hukuman penjara. Namun hakim pengadilan dan jaksa menyatakan SEMA dan Perma tidak dapat dilaksanakan karena tidak memiliki petunjuk teknis. Tonin berpendapat apabila keempat UU ini bermasalah lebih baik dibatalkan saja, dan membuat UU yang baru.
Disampaikan olehnya, Pemohon langsung menempuh proses uji UU di MK dan tidak melaporkan hakim pengadilan tersebut ke Komisi Yudisial karena banyak terpidana lain yang mengalami hal serupa dengan Pemohon, karena tidak mungkin seseorang yang melakukan tipiring namun mendapat hukuman yang sama dengan koruptor. Tonin berharap jika permohonan ini diajukan maka keadilan dapat ditegakkan. (Ilham/mh)