Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) - Perkara No. 25/PUU-XI/2013 - pada Rabu (8/5) siang di Ruang Sidang MK. Pemohon H. Syafrinaldi mempersoalkan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA tersebut. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Pihak Pemerintah yang diwakili Mualimin Abdi kepada Majelis Hakim menyatakan bahwa keterangan yang akan disampaikan secara keseluruhan sama dengan keterangan Pemerintah pada sidang terdahulu dan tidak ada perubahan berarti. Di antaranya, Pemerintah menyampaikan batu uji yang diajukan Pemohon yaitu ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon, seperti disampaikan Pemerintah, Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kewenangan DPR terkait dengan pengisian jabatan hakim agung adalah sebatas memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Dengan demikian, DPR tidak dalam kapasitas melakukan seleksi yang memilih hakim agung untuk disahkan atau disetujui oleh presiden.
Sementara itu, Pihak DPR yang diwakili oleh M. Nurdin menyatakan bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA telah sesuai dengan ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa pengusulan hakim agung oleh KY terhadap calon-calon hakim agung, DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai dan atau memilih, menyetujui menjadi hakim agung.
“DPR juga berpendapat, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA sama sekali tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk menjadi hakim agung selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai calon hakim agung sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU MA, kemudian diusulkan oleh KY dan telah disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,” ujar DPR.
Alasan Pemohon
Sebagaimana diketahui, ada beberapa alasan Pemohon melakukan pengujian terhadap UU MA tersebut. Di antaranya, terkait rekruitmen hakim agung, bahwa Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 telah memberikan kewenangan kepada KY untuk mengusulkan calon hakim agung guna mendapatkan persetujuan DPR untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden.
Bahwa dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA pengaturan mengenai pengisian jabatan hakim agung semakin bias tafsir dari yang diatur oleh UUD 1945. Hal ini terlihat dari frasa “dipilih oleh DPR” dan frasa ini menimbulkan implikasi hukum yang berbeda.
Alasan Pemohon lainnya, adanya mekanisme penyeleksian dan pemilihan calon hakim agung di DPR sangat membahayakan posisi hakim agung. Hal itu disebabkan DPR merupakan lembaga politik, sehingga dikhawatirkan ke depan hakim agung akan hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki kesepakatan politik tertentu dengan DPR. (Nano Tresna Arfana/mh)