Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). Sidang perkara Nomor 28/PUU-XI/2013 ini berlangsung pada Kamis (2/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Beberapa koperasi di Jawa Timur tercatat sebagai pemohon dalam perkara ini, di antaranya Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Provinsi Jawa Timur, Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) Jawa Timur, Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), Pusat Koperasi An-nisa’ Jawa Timur, Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur, Gabungan Koperasi Susu Indonesia, dan beberapa pemohon perseorangan.
Dalam keterangannya, Setyo Heriyanto, Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM, yang hadir mewakili Pemerintah menjelaskan bahwa permohonan Pemohon secara keseluruhan bukan mengenai masalah konstitusionalitas norma, namun masalah implementasi. Selanjut Pemerintah menjelaskan koperasi merupakan badan hukum yang dapat didirikan orang perseorangan dengan didasarkan pada asas kekeluargaan sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 UU Perkoperasian.
Pasal 1 ayat 1 UU Perkoperasian menyebutkan “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi”. Menurut Pemerintah, anggapan pemohon bahwa koperasi akan bersifat indvidu tidak benar karena koperasi mengutamakan kemakmuran anggota, bukan kemakmuran perseorangan.
“Batasan pengertian dari koperasi lazim diatur dalam ketentuan umum, dimaksudkan agar batas definisi dari akronim harus diluruskan sedemikian rupa agar tidak bermakna ganda. Sejalan dengan Putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008 tanggal 27 Februari 2009, permohonan pemohon yang mempermasalahkan batasan, singkatan dan pengertian yang dijadikan pijakan sangat tidak beralasan dan tidak tepat. Pasal tersebut sudah memberikan arah, ketentuan, maksud dan tujuan,” jelas Setyo.
Mengenai pemberian gaji maupun imbalan kepada pengurus dan pengawas sesuai yang diatur oleh Pasal 37 ayat 1 huruf f dan Pasal 57 ayat 2, Pemerintah menjelaskan hal tersebut merupakan perwujudan nilai tanggung jawab. Pemerintah menilai kegiatan mengelola koperasi membutuhkan waktu penuh dan curahan tenaga. “Besaran gaji dan imbalan ditetapkan dalam Rapat Anggota. Dengan demikian, ketentuan a quo sejalan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945,” ujarnya.
Kemudian mengenai kewenangan pengawas untuk menjaring calon pengurus seperti yang diatur dalam Pasal 50 UU Perkoperasian, tugas pengawas adalah sebagai fungsi seleksi awal yakni dengan melakukan seleksi awal, untuk selanjutnya dilakukan seleksi lanjutan. Pengawas hanya mengusulkan calon tersebut. “Rapat Anggota tetap yang menjadi keputusan final sehingga tidaklah tepat dan tidak berdasar jika ketentuan a quo dianggap membatasi. Ketentuan ini hanya memenuhi mekanisme. Jika semua anggota memenuhi persyaratan maka bisa mengajukan diri sebagai pengurus,” terangnya.
Dikarenakan DPR yang diundang untuk menyampaikan keterangan tidak menghadiri persidangan, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar menunda sidang hingga Selasa, 4 Juni 2013 untuk mendengar keterang saksi dan ahli baik dari Pemerintah maupun Pemohon.
Sebelumnya, dalam pokok permohonannya, para Pemohon yang antara lain terdiri atas sejumlah koperasi di Jawa Timur berkeberatan dengan Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian). Menurut para pemohon, pasal-pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (2), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945.
Menurut para Pemohon, definisi koperasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian hanya berorientasi pada makna koperasi sebagai entitas yang bernilai materialitas dan bukan pada penempatan serta keterlibatan manusia (orang-orang) dalam proses terbentuk dan keberlangsungan hidup koperasi. “Hal ini memungkinkan bahwa manusia akan menjadi objek badan usaha dan bukan subjek dari Koperasi,” terang Aan Eko Widiarto, kuasa hukum para Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)