Persoalan bias jender hampir terjadi diseluruh peradaban di dunia. Berabad-abad persoalan diskriminasi terhadap perempuan, mewarnai sejarah manusia. Hingga saat ini pun, hal itu masih terjadi. Salah satunya dalam bidang politik.
Menurut ahli Pemohon, Rocky Gerung, ketentuan terkait keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum legislatif di Indonesia masih sangat didominasi oleh kepentingan laki-laki. “Yang didebatkan hari ini bukan sekedar rumusan kalimat di dalam undang-undang, tetapi wacana dibelakang itu yang dipertahankan berabad-abad untuk kepentingan laki-laki,” ujarnya dalam keterangan ahlinya yang disampaikan dalam persidangan, Kamis (25/4) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Berdasarkan ilmu psikologi dan neurosains, menurutnya, otak dan cara berkomunikasi perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Dalam hal ini, neurosains bisa memperlihatkan topografi otak manusia, di mana tampak adanya perbedaan antara bagian verbal pada otak laki-laki dan perempuan. Faktanya ditemukan bahwa perempuan bicara dalam upaya untuk memperoleh relasi antar sesama manusia, sedangkan laki-laki mengungkapkan pikirannya dalam upaya untuk memperoleh dominasi.
“Jadi kalau seorang perempuan gagal berdebat di parlemen, bukan karena dia tidak punya pikiran, tetapi tata bahasa yang dipakai dalam hukum di parlemen adalah tata bahasa laki-laki,” ujar pengajar filsafat politik dan teori feminisme di Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, perempuan dapat dikatakan tidak punya kemampuan untuk menyusun suatu argumentasi secara rasional dengan silogisme yang ketat dan menggunakan dalil-dalil yang pasti. Karena sifat perempuan adalah caring (merawat), bukan mendominasi. Akibatnya, muncul anggapan bahwa perempuan tidak bisa berpolitik. “Istilah politik adalah istilah yang pro laki-laki. Dianggap perempuan tidak bisa berpolitik,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ujar Rocky, tidak tepat jika kita menggunakan standar penilaian dalam keterwakilan di parlemen, dengan parameter yang sangat didominasi oleh kepentingan laki-laki. Sebab, pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah berbeda. “Seolah-olah rakyat boleh tidur di ranjang konstitusi, namun harus fit and proper dengan (kepentingan) laki-laki,” ujarnya mengilustrasikan.
Sementara itu, ahli Pemohon lainnya, Syamsiah Ahmad, menyoroti ketentuan yang diuji oleh Para Pemohon dalam perspektif internasional. Pada intinya, menurut dia, di mata internasional, penerapan affirmative action terkait keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif di Indonesia masih memprihatinkan. Karena, tidak adanya sanksi yang tegas jika tidak terpenuhinya ketentuan keterwakilan 30% perempuan.
Semestinya, kata dia, antara laki-laki dan perempuan tercipta sinergi yang baik, sehingga dapat mewujudkan cita-cita bersama. “Inti dari kesetaraan adalah tidak hanya setara, tapi juga harus adil,” tegasnya.
Dalam perkara No.20/PUU-XI/2013 ini, Para Pemohon yang terdiri dari aktivis perempuan, menguji Pasal 215 huruf b dan Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif). Mereka meminta, rumusan dalam pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. (Dodi/mh)