Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diwakili oleh Din Syamsudin mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/4). Sidang pendahuluan perkara Nomor 38/PUU-XI/2013 ini diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumya Syaiful Bakhri, mendalilkan hak konstitusional Pemohon terlanggar akibat berlakunya Pasal 7 ayat (4), Pasal 17, Pasal 21, Pasal 25 ayat (5), Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU RS. Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional pemohon yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Pemohon menjelaskan Ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU RS jelas merugikan karena yang selama ini atas pengelolaan rumah sakit yang telah didirikan oleh Pemohon sebelum adanya ketentuan UU RS. Jika sebelumnya Pemohon dapat melakukan kontrol secara langsung kepada anggotanya, maka dengan adanya badan hukum yang baru akan menimbulkan dualisme kewenangan di dalam badan hukum Pemohon sendiri. “Hal ini mereduksi hak konstitusional Pemohon sebagai persyarikatan yang telah memiliki badan hukum karena mewajibkan Pemohon untuk membentuk badan hukum khusus,” ujar Syaiful.
Namun dengan mempertahankan bentuk badan hukum yang ada, Pemohon justru mengalami hambatan mengenai perizinan khususnya perihal perpanjangan izin operasional yang ditolak oleh Kementerian Kesehatan dan Badan yang berkompeten. Kondisi terebut menyebabkan Pemohon dapat terkena sanksi seperti yang tercantum dalam Pasal 62, Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 64 ayat (1) UU RS. “Pemohon sudah mendirikan beberapa RS, namun keberadaanya tidak dijamin dan tidak diakui oleh negara hanya karena tidak didirikan dalam badan hukum khusus kerumahsakitan,” paparnya.
Majelis Hakim Konstitusi dalam kesempatan itu memberikan saran untuk perbaikan permohonan. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva meminta kepada Pemohon untuk memperkuat argumentasi permohonannya. Menurut Hamdan, selain permasalahan teknis yang merupakan implementasi dari pasal-pasal a quo, Pemohon harus memaparkan kerugian adanya pasal a quo. “Pemohon harus menjelaskan masalah substansial yang dialami Muhammadiyah. Misalnya menjelaskan mengenai kesulitan spent of control,” saran Hamdan.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan. (Lulu Anjarsari/mh)