Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara pengujian ketentuan Peninjauan Kembali (PK) dalam Pasal 268 ayat (3) UU Hukum Acara Pidana, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh I Made Sudana, Kamis (11/4). Dalam permohonannya, I Made Sudana merasa dirugikan karena tidak bisa mengajukan PK kembali (untuk yang kedua kalinya, red) terhadap Putusan No. 132/Pid/B/1995/PN.Dps.
Pemohon, I Made Sudana tanpa didampingi kuasa hukum memberikan keterangan melalui fasilitas video conference (vicon) antara Universitas Udayana-Ruang Sidang Panel MK. Melalui fasilitas vicon, Sudana menyampaikan bahwa ia merasa janggal dengan putusan PN Denpasar sampai dengan PK dari MA terkait kasus pemalsuan akta otentik yang melibatkan dirinya. Karena kejanggalan tersebut, meski sudah pernah di-PK, Sudana ingin mengajukan PK kembali. Namun, keinginannya terhalang ketentuan yang menyatakan PK hanya dapat diajukan satu kali.
Namun, Sudana yang juga pernah mengajukan permohonan terkait PK dengan nomor registrasi perkara No. 44/PUU-X/2012 ini belum menyampaikan permohonannya sesuai sistematika pengajuan permohonan yang ditetapkan MK. Sudana belum menyampaikan hubungan antara pasal yang diomohonkannya untuk diuji dengan batu uji yang ia gunakan. Petitum permohonan yang dirangkai Sudana juga tidak sesuai dengan format baku yang disyaratkan MK. Hal itu terlihat pada poin ketiga dan keempat petitum permohonan Pemohon. Poin tiga, petitum permohonan Pemohon justru meminta MK putusan dalam peninjauan kembali atas pasal-pasal yang dimohonkannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada poin empat, Sudana juga meminta perkara yang diajukan untuk ditinjau kembali harus dieksaminasi terlebih dulu oleh tim pengawas MA.
Perbaiki Permohonan
Terhadap permohonan Sudana, panel hakim yang terdiri dari Maria Farida Indrati selaku ketua panel hakim serta Achmad Sodiki dan Arief Hidayat selaku anggota panel hakim menyampaikan saran-saran yang dapat dipakai untuk menyempurnakan permohonan Pemohon. “Permohonan ini belum memenuhi sistematika permohonan di MK. Soal sistematika, Bapak bisa melihat dari permohonan-permohonan lain di website MK. Di situ urutannya ada, nama Pemohon, objek permohonan, kewenangan MK, legal standing Pemohon, norma-norma yang diajukan untuk diuji, alasan permohonan, dan petitum,” ujar Maria memberikan saran.
Selanjutnya, Maria menyampaikan bahwa MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji norma, bukan menyidangkan kasus konkret seperti yang diajukan Pemohon. Meski begitu, Maria memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh Pemohon sehingga ia menyarankan agar Pemohon harus memperbaiki permohonannya.
“Hal-hal faktual yang terjadi pada Bapak diambil sebagian dalam permohonan Bapak sehingga hakim bisa yakin apa yang dimohonkan betul sebagai permohonan kepada MK,” tutur Maria yang juga meminta Pemohon memperbaiki petitum permohonannya.
Senada dengan Maria, Hakim Achmad Sodiki juga menyarankan agar Pemohon memperbaiki permohonannya agar memenuhi syarat sebagai permohonan Uji Materi ke MK. “Ini kewajiban hakim untuk memberikan saran supaya permohonan Bapak lebih bagus. Artinya, permohonan Bapak nantinya bisa memenuhi syarat. Bapak bisa lihat di website MK atau minta tolong lihat permohonan yang baku di Fakultas Hukum Udayana,” saran Sodiki.
Sodiki juga mengomentari posita (dasar atau alasan-alasan permohonan) dan petitum Pemohon yang dinilainya tidak sinkron. Selain itu, Sodiki melihat permintaan Pemohon dalam petitumnya tidak bisa dilakukan MK karena bukan menjadi kewenangan MK. Sodiki pun menambahkan bahwa syarat suatu permohonan dikabulkan untuk pasal yang diajukan dibatalkan adalah adanya kerugian konstitusional yang dapat dipastikan tidak terjadi lagi. “Jadi permohonan Bapak perbaiki lagi supaya bagus, rasional, dan sesuai dengan ketentuan di MK,” tukas Sodiki.
Sebelum menutup sidang, Maria mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 14 hari kerja sejak hari ini lewat Kepaniteraan MK. (Yusti Nurul Agustin/mh)