Sejumlah 165 mahasiswa dan 5 dosen Universitas Gorontalo berkunjung ke Mahkamah Konstitusi, Selasa (2/4) siang. Kunjungan yang dimaksudkan dalam rangka studi visit tersebut di terima oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono di Aula Gedung MK. Pada kunjungan tersebut, Fajar menyampaikan materi seputar sejarah awal munculnya gagasan pembentukan MK. Selain itu, Fajar juga menyampaikan materi terkait fungsi dan kewenangan MKRI.
Mengawali paparannya, Fajar di hadapan para mahasiswa berjaket almamater warna merah marun itu menyampaikan bahwa MK merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fajar melanjutkan meskipun MK merupakan lembaga baru namun MK cukup dikenal oleh masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri karena sepak terjang dan terobosan-terobosannya di bidang hukum.
Fajar kemudian menyampaikan tentang awal munculnya gagasan dibentuknya lembaga yang bisa menguji suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Lembaga dimaksud adalah MK yang dikenal saat ini. Fajar menjelaskan bahwa gagasan terbentuknya lembaga seperti MK muncul dari pemikiran Hans Kelsen seorang ahli Tata Negara Austria pada tahun 1920. Saat itu, ujar Fajar, Hans Kelsen sedang membuat UUD Austria.
Fajar melanjutkan, gagasan Hans Kelsen tersebut muncul karena adanya pemikiran bahwa undang-undang merupakan produk politik yang dibuat oleh lembaga politik. Di Indonesia sendiri, lembaga politik yang membuat undang-undang adalah DPR dan Pemerintah/Presiden. Dalam proses pembuatan undang-undang sering kali muncul kepentingan politik karena kedua lembaga tersebut memang memiliki kepentingan politik. “Undang-undang sering kali mencerminkan kepentingan politik saja. Sehingga harus diuji, apakah bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar,” ujar Fajar.
Meski begitu, Fajar membenarkan bahwa undang-undang dibentuk lewat proses demokrasi. Namun, proses demokrasi yang terjadi dalam pembuatan undang-undang hanyalah demokrasi procedural, bukan demokrasi substansional. Karena itulah, diperlukan suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang (judicial review).
Fajar melanjutkan penjelasannya tentang hierarki perundang-undanga. Menurut Hans Kelsen, lanjut Fajar, hukum memiliki hierari. Yang berada di puncak hierarki hukum adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Kesemua hukum atau peraturan di bawah UUD tersebut harus disusun tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, terutama tidak bertentangan dengan UUD.
Beralih ke bahasan lain, Fajar mengungkapkan bahwa MKRI merupakan MK ke-78 di dunia yang dibentuk pada tahun 2003. Namun, gagasan tentang perlunya MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak Indonesia berdiri. Saat sidang pembahasan BPUPKI, ide tentang perlunya MK sudah mengemuka. Namun, saat itu Indonesia dirasa belum cukup mampu dan belum memiliki sarjana hukum kompeten untuk menjalankan lembaga semacam lembaga MK. “Sekarang MK menjadi tren positif di negara-negara dunia. Negara-negara di Eropa Timur mengadopsi ide tentang MK pasca komunis berkuasa di sana. Di Indonesia, pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 selama tahun 1999 sampai 2002, para pengubah UUD melakukan studi banding ke Korea, Afrika Selatan, dan Thailand. Tidak heran kalau MK Indonesia hampir sama dengan MK di Korea, Afrika Selatan, dan Thailand seperti jumlah hakimnya yang sembilan dan sifat putusannya yang final dan mengikat,” papar Fajar yang juga mengatakan kewenangan untuk menguji undang-undang merupakan kewenangan yang harus ada di lembaga semacam MK.
Fajar juga mengungkapkan bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban yang sedikit berbeda dari MK lain di dunia. Selain memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review, MKRI juga memiliki kewenangan memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, memutus sengketa kewenangan lembaga negara,dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi MK adalah kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berat. (Yusti Nurul Agustin/mh)