Tak ada lagi alasan menolak warga untuk memberikan hak suaranya dengan dalih tidak terdaftar pada saat gelaran pemilihan umum kepala daerah. Karena, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa jika pemilih tidak terdaftar dan ingin memberikan suara, maka pemilih cukup menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga yang masih berlaku sesuai dengan tempat memilihnya.
Hal itu ditegaskan oleh MK dalam Putusan No. 85/PUU-X/2012 perihal pengujian Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. “Pokok permohonan Para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Ketua MK Moh. Mahfud MD dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (13/3) siang.
Dalam putusannya, MK meyatakan Pasal 69 ayat (1) UU Pemda konstitusional sepanjang mencakup warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 yang menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK). Kemudian, MK juga memberikan pedoman penggunaan KTP dan KK tersebut dengan cara sebagai berikut: pertama, menunjukkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku atau nama sejenisnya; kedua, penggunaan hak pilih tersebut hanya dapat dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; ketiga, sebelum menggunakan hak pilihnya, yang bersangkutan terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; dan keempat, pemberian suara dilakukan dalam waktu 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.
Sebelumnya MK merujuk pada dua putusan lainnya yakni Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 dan Putusan No. 102/PUUVII/2009. Pada dua putusan ini MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Oleh karenannya, demi kepastian hukum dan terpenuhinya hak tersebut, maka ditegaskan bahwa KTP dan KK dapat digunakan sebagai dasar pemberian suara dalam Pemilu.
“Dalam konteks Pemilukada, tidak validnya data DPT merupakan salah satu persoalan yang muncul di hampir semua perkara perselisihan hasil Pemilukada yang diadili di Mahkamah, bahkan persoalan tersebut juga melebar pada tidak validnya data DPS, data Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP), DPSHP Akhir, hingga data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), yang meskipun pada sebagian besar perkara Pemilukada tidak dapat dibuktikan secara materiil bahwa hal tersebut memberi pengaruh signifikan terhadap hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon,” papar MK dalam putusan setebal 28 halaman ini.
Sudah sering pula MK mengungkapkan bahwa persoalan DPT bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan persoalan pengelolaan data kependudukan yang masih belum selesai. “Kesalahan yang terjadi dalam penyusunan DPT, terutama terkait NIK, adalah karena kekurangsempurnaan pencatatan dalam sistem informasi administrasi kependudukan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,” ujar Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh Mohammad Umar Halimuddin (Pemohon I) dan Siti Hidayawati (Pemohon II). Sebelumnya mereka beralasan hak konstitusional mereka telah dirugikan dengan adanya pasal tersebut yang berbunyi, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”.
Adapun terhadap Perkara No. 87/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Wawan (Pemohon I) dan Kasiyono (Pemohon II) yang juga menguji ketentuan yang sama, dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Sebab, telah diputus dalam Putusan No. 85/PUU-X/2012. “Permohonan para Pemohon ne bis in idem,” tegas Mahfud. (Dodi/mh)