Ketentuan affimative action dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) digugat ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Para Pemohon, rumusan dalam UU Pemilu Legislatif mengandung ketidakpastian hukum, sehingga merugikan hak konstitusionanyal, dan perempuan pada umumnya.
Dalam permohonannya, mereka menguji Pasal 8 ayat (2) huruf e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2), dan Pasal 215 UU Pemilu Legislatif. “Pasal-pasal tersebut memunculkan tafsiran berbeda-beda,” tegas Kuasa Hukum Pemohon Ema Ratnaningsih, dalam Sidang Pendahuluan Perkara No. 20/PUU-XI/2013, Rabu (13/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon dalam perkara ini cukup banyak, yakni 31 Pemohon, yang terdiri dari sembilan organisasi perempuan dan 22 perorangan.
Ema mengungkapkan, ketentuan itu setidaknya bertentangan dengan pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan (3); Pasal 28H ayat (2); serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, selain terdapat ketidakjelasan rumusan, juga telah melahirkan perlakuan diskriminatif terhadap hak-hak perempuan, khususnya hak konstitusional para Pemohon.
Salah satu Pemohon Prinsipal, Titi Sumbung, menimpali. Dia menyebutkan, permohonan ini didasari atas adanya beberapa kata atau frasa yang tidak tegas, sehingga berpotensi menimbulkan perbedaan persepsi nantinya. “Banyak digunakan kata-kata multitafsir, seperti ‘menyertakan’, ‘memuat’, ‘mempertimbangkan’, dan semua ini tidak memiliki sanksi,” ujarnya.
Setelah menyampaikan pokok-pokok permohonannya, Para Pemohon kemudian mendapat nasihat dari Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Harjono (Ketua Panel), Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Menurut Panel Hakim, Pemohon masih perlu memperbaiki beberapa bagian permohonannya. (Dodi/mh)