Perkembangan demokrasi di Indonesia tercapai sangat menggemberikan, terutama setelah melihat fakta-fakta misalkan pemilu sudah diselenggarakanselama tiga kali dengan tertib dan lancar. Namun demikian, ditengah kenyataan demikian, sebagian pihak mengatakan, demokrasi Indonesia di era reformasi justru sedang mengalami kemujudan. Demokrasi hanya memanjakan para elit politik sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan, terutama terhadap kesejahteraan dan kemakmurannya.
Demikian yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi RI Moh. Mahfud MD dalam acara sosialisasi pendidikan politik masyarakat bertemakan “Capaian dan Catatan tentang Demokrasi dan Pemilu Sebagai Agenda Reformasi”, yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Solok Padang, di Gedung Pertemuan Kubung 13, Jumat (08/02) pagi. “Harus diakui, ternyata demokrasi kita juga masih banyak persoalan, dimana masyarakat sipil terus bertumbuh, tetapi tidak diiringi tumbuhnya ketertiban sosial,” tegas mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur ini.
Berdasarkan kenyataan tersebut, terang Mahfud, secara umum pasca reformasi, demokrasi bukan bertambah baik. Tak mengherankan kemudian banyak orang yang marah kepada demokrasi yang sedang berlangsung. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berkembang cenderung liberal, karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat. “Alhasil, kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum,” katanya.
Mahfud juga mengatakan, demokrasi prosedural seperti sekarang ini justru membuat pemilu dilaksanakan sebagai rutinitas demokrasi belaka. Faktanya, pemilu diselenggarakan bukannya semakin meningkat kualitas demokrasi, tetapi justru semakin memilukan, dimana pemilu diramaikan oleh perilaku-perilaku yang mencederai nilai-nilai demokrasi, politik uang, suap menyuap, cedera janji, dan kecurangan seolah terjadi biasa dalam tahapan pemilu. Demokrasi disepanjang era reformasi masih bersifat prosedural, belum substansial. Pemilu dilaksanakan belum dilakukan secara luber dan jurdil sehingga belum menghasilkan wakil rakyat atau pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Oleh karenanya, Mahfud mengatakan bahwa demokrasi belum mampu membentuk pemerintahan yang mampu mensejahterakan rakyat.
Berdasarkan pengamatan dan proses-proses selama ini terjadi, tercatat beberapa hal terkait penyelenggaran pemilukada dengan karakter seperti sekarang ini, yaitu: pertama, pemilukada menjadi arena rivalitas kekuasaan secara tidak sehat, sehingga belum dapat melahirkan pemimpin yang bertindak secara bertanggung jawab. Kedua, pemilukada mendorong berjangkitnya moral pragmatisme, baik calon kepala daerah sendiri, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat. Ketiga, pemilukada mengekalkan oligarki kekuasan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan akan kekuasaan. Keempat, pemilukada menimbulkan perosalan anggaran. Selain itu, pemilukada juga dapat memicu politisasi birokrasi, serta rentan terhadap konflik antar elit politik yang melibatkan massa. Dan yang terakhir, penyeragaman tata cara pemilukada seperti sekarang mengakibatkan karakter masyarakat adat yang masih eksis.
“Timbulnya problem demorkasi dan pemilu di Indonesia bukanlah disebabkan oleh kesalahan konsptual-paradigmatik dan pengaturan normatifnya, melainkan lebih disebabkan melencengnya implementasi demokrasi dari sistem yang mendasarinya,” jelas Mahfud panjang lebar. Untuk menangani masalah ketidakseimbangan antara demokrasi dan hukum tersebut, lanjutnya, hanya dapat diselesaikan dengan upaya menjadikan hukum sebagai panglima yang harus didahului dengan penataan demokrasi, dalam arti perekrutan politik agar bersih dari politik transaksional dan saling sandera. Disinilah, dituntut kesadaran partai politik sebagai wadah perekrutan pimpinan politik untuk melakukan perekrutan dengan penuh tanggaung jawab dan menjunjung tinggi integritas moral.
Mahfud menutup pembicaraannya dengan mengatakan, untuk memperbaiki demokrasi, hukum, politik, dan lain lain, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang dilambangkan bendera kita yakni merah dan putih. “Kepemimpinan yang kuat harus berwatak merah, yakni “berani” melakukan tindakan secara meyakinkan. Pada saat yang sama, kepemimpinan haruslah kepemimpinan yang putih, yakni kepemimpinan yang bersih dari noda transaksi dan penyanderaan, agar sifat keberanianya bisa muncul. Keberanian yang tidak didukung kebersihan akan sangat membahayakan, begitu juga kebersihan yang tidak didukung oleh keberanian akan tumpul dan tak efektif,” tegas Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini.
Acara ini dihadiri oleh Ketua KPU Kota Solok Hanesmen, staf ahli Gubernur Sumatra Barat Usman Effendi, Walikota Kota Solok Irzal Ilyas Datuak Lawik Basa, beserta wakilnya Zulelfia, perwakilan dari Bawaslu, Panwaslu, dan ketua partai-partai, perguruan tinggi dan berbagai organisasi masyarakat. (Hendy Prasetya/mh)