Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/10). Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 86/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh beberapa yayasan sosial yang tercatat sebagai pemohon dalam perkara ini, yakni Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Sosial Al-Falah Malang dan Yayasan Yatim Mandiri.
Dalam sidang kali ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir memberikan keterangan seputar pengelolaan zakat. Kepala Divisi Hukum MUI Sugito menjelaskan pengaturan dalam UU ini menyempurnakan UU lama dalam rangka meningkatkan good governance dalam pengelolaan zakat. “Mengenai lembaga amil zakat yang berbadan hukum, hal itu dilakukan agar pertanggungjawaban lebih jelas. Jika ada saldo lebih malah, jadi diberikan kepada amil, jangan sampai amil menjadi mustahik. Sanksi dalam UU tersebut bertujuan agar jangan ada penyalahgunaan oleh orang perorangan, yang tidak jelas amil atau mustahik,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Selain itu, Sugito juga menjelaskan bahwa MUI berharap rukun islam ini dilaksanakan secara tertib, akuntabel dan transparan. Dalam proses penyusunan UU tersebut, lanjut Sugito, MUI juga melibatkan ormas islam dan berbagai badan amil zakat. “MUI terlibat sejak awal dan memberi masukan kepada DPR dan presiden berdasarkan hasil pertemuan dengan ormas islam,” ujarnya.
MUI, lanjut Sugito, meyakini segala sesuatu yang tertuang dalam Al Quran dan Sunnah tentang pengelolaan zakat sudah tertuang ke dalam UU tersebut, khususnya mengenai unifikasi pengelolaan zakat. “UU ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena merupakan perwujudan dari sila pertama Pancasia mengenai Ketuhanan Yang maha Esa serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,” katanya.
Disinggung mengenai kemungkinan adanya penangkapan amil zakat perorangan yang banyak tersebar di berbagai daerah akibat berlakunya Pasal 41 UU No. 23/2011, Sugito menjelaskan hal tersebut tidak akan terjadi jika Pemerintah tidak langsung menerapkan UU ini. “Ada jangka waktu 5 tahun bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan UU ini. Kami ingin perorangan yang menjadi amil, ia yang akan memimpin LAS agar mereka tidak individual dalam mengumpulkan zakat. Pemerintah diharapkan memberi ruang dan tidak langsung melaksanakan. Akan tetapi, Pemerintah harus konsekuen melakukan sosialisasi UU,” paparnya.
Sementara itu, perwakilan dari Baznas, K.H. Hafiuddin mengungkapkan bahwa UU ini merupakan solusi terhadap kendala dunia perzakatan nasional dalam menjalankan koordinasi. “UU ini menguatkan koordinasi antara baznas dengan badan amil zakat lainnya yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Selain itu, UU ini juga membangun seluas-luasnya interaksi antara Baznas dengan badan amil zakat lainnya,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Para Pemohon yang diwakili Heru Susetyo sebagai kuasa hukum, mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945 terlanggar dengan berlakunya Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 serta Pasal 41 UU No. 23/2011. Pemohon beralasan pasal-pasal ini berpotensi adanya unsur kriminalisasi terhadap amil zakat baik secara perseorangan maupun lembaga. Heru juga menjelaskan Pasal 17 UU No. 23/2011 menunjukkan ketidaksetaraan antara pengelola zakat (baznas). Menurutnya, kata ‘membantu’ memiliki ketidaksetaraan antara baznas dengan amil zakat. (Lulu Anjarsari/mh)