Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Barat mengajukan pengujian materiil Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah terhadap UUD 1945. Sidang pertama yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (15/10). Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 97/PUU-X/2012 dengan Pemohon, yakni Mujirin M. YAmin, Hasrat Kaimuddin, dan Andi Jalil Andi Laebbe.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Muhammad Hatta mendalilkan hak konstitusionalnya sebagai badan hukum publik terlanggar dengan berlakunya UU tersebut terutama Pasal 21 ayat (1), Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 94 ayat (2). Kerugian tersebut karena tidak dapatnya Para Pemohon menarik dan menikmati pajak air permukaan untuk kepentingan menambah pendapatan asli daerah Provinsi Sulawesi Barat. “Menurut Pemohon frasa ”pengambilan dan atau pemanfaatan air permukaan” dalam Pasal 21 ayat (1) dan frasa ”Pajak air permukaan yang terutang dipungut dari wilayah tempat air berada” dalam Pasal 25 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 jelas menghambat Pemohon untuk mendapatkan dana bagi hasil dari PLTA Bakaru,” urai Hatta.
Secara historis, lanjut Hatta, sebelum berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 daerah tingkat kabupaten di Sulawesi Barat yakni kabupaten Mamasa mendapatkan pembagian pajak air permukaan berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian dikuatkan dengan Perda No. 3 Tahun 2002. Setelah terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat dan berlakunya UU No. 28 Tahun 2009, Kabupaten Mamasa sudah tidak mendapatkan pembagian pajak air permukaan PLTA Bakaru dikarenakan lokasi PLTA Bakaru berada di daerah Kabupaten Pinrag Provinsi Sulawesi Selatan. UU No. 28 Tahun 2009 tidak diatur bahwa pemilik sumber daya air mendapatkan pajak bagi hasil dan bagi hasil mengenai pajak air permukaan lintas provinsi dimana ada 2 wilayah Provinsi tempat serta sumber air berada, namun hanya diatur pajak bagi hasil hanya diberikan kepada daerah yang mengelola sumber daya air artinya wilayah yang memiliki sumber air tidak mendapat kontribusi
“Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Lariang Mamasa luas catchment area PLTA Bakaru untuk Provinsi Sulawesi Barat adalah 80% dan Provinsi Sulawesi Selatan 20%, oleh karena itu menurut Pemohon ketentuan a quo tidak adil dan diskriminatif karena Pemohon tidak dapat menikmati pembayaran pajak air permukaan,” jelas Hatta.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Achamd Sodiki serta Anwar Usman memberikan saran kepada Pemohon. Menurut Alim, Pemohon harus memperhatikan kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonannya. “Pemohon harus memperhatikan Pasal 25 huruf F yang menyebutkan bahwa, ‘Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan’. MK adalah pengadilan, seharusnya yang mengajukan permohonan adalah kepala daerah, dalam hal ini Bupati Mamasa sebagai pihak yang dirugikan dan mewakili daerahnya,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menyarankan agar pemohon menghilangkan petitum poin (5) yang meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 94 UU No. 2009 ditambahkan ayat yang mengatur tentang pembagian bagi hasil pajak air permukaan lintas provinsi. “MK tidak memiliki kewenangan sebagai legislative review untuk menambahkan ayat,” jelasnya.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu kepada Pemohon selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Sidang berikutnya beragendakan pemeriksaan perbaikan. (Lulu Anjarsari/mh)