Mekanisme pengalokasian kursi dan penetapan daerah pemilihan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, telah mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Demikian hal itu dinyatakan oleh Kuasa Hukum Pemohon Veri Junaidi, dalam sidang Pendahuluan pada Jum’at (12/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Menurut Veri, Lampiran UU Pemilu Legislatif tersebut dengan tegas telah melakukan penyimpangan atas prinsip kesetaraan. “Bahwa salah satu prinsip pemilu yang demokratis itu adalah kesetaraan suara sebagaimana lazimnya dikenal dengan ‘opovov’ yakni one person, one vote, one value,” jabarnya.
Mestinya, ujar dia, prinsip kesetaraan diimplementasikan dalam pembagian daerah pemilihan dan pengalokasian jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat ke setiap kursi. “Dalam pengalokasian kursi dan penentuan daerah pemilihan mestinya mempertimbangkan kesetaraan suara pemilih tanpa melihat ideologi, agama, etnis, daerah, dan lain sebagainya,” tegasnya. “Sebab, prinsip keterwakilan DPR adalah keterwakilan orang atau penduduk, bukan keterwakilan wilayah sebagaimana DPD.”
Jika diperhatikan, lanjut Veri, lampiran UU Pemilu Legislatif tersebut merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa menggunakan metode penghitungan dan penetapan yang jelas. Karena, lampiran tersebut merupakan lampiran yang sama seperti dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang berlaku saat penyelenggaraan Pemilu 2009.
Dia menambahkan, karena tidak menerapkan prinsip kesetaraan dalam penentuan pengalokasian kursi dan penetapan daerah pemilihan pada UU Pemilu Legislatif maka mengakibatkan beberapa provinsi mengalami overrepresentated sehingga ada jumlah kursi yang melebihi jumlah seharusnya dan beberapa provinsi malah underrepresented.
Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan harga kursi antar daerah pemilihan. “Harga kursi di daerah yang overrepresented lebih murah dibandingkan harga kursi di daerah underrepresented,” ujarnya dalam sidang Perkara No. 96/PUU-X/2012 yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Perkumpulan Indonesia Paeliamentary Center (IPC) ini.
Akhirnya, dia menilai, berlakunya lampiran tersebut telah secara tegas dan nyata bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Ia berkesimpulan, ketentuan Pasal 22 ayat (5) UU Pemilu Legislatif justru secara serta merta melampirkan pembagian daerah pemilihan dan pengalokasian kursi DPR RI tanpa mekanisme yang jelas. “Sehingga berlakunya pasal 22 ayat (4) dan (5) telah secara tegas bertentangan dnegan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tuturnya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 22 ayat (4) UU Pemilu Legislatif, adalah konstitusional sepanjang dibaca penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan berdasarkan data sensus penduduk dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
Selain itu, menyatakan Lampiran dalam UU Pemilu Legislatif, adalah konstitusional dengan syarat memerintahkan kepada KPU untuk melakukan penghitungan dan penetapan ulang jumlah kursi di setiap provinsi dan daerah pemilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara proporsional sesuai dnegan jumlah penduduk.
Adapun bunyi Pasal 22 ayat (4) yang diuji tersebut adalah sebagai berikut: “(4) Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan ketentuan pada ayat (2).” (Dodi)