Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Sutan Soekarnotomo, mengajukan judicial review terhadap tiga undang-undang, yakni: Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres); Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif); dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pada intinya, dia mempersoalkan Pasal 5 huruf m UU Pilpres, Pasal 12 huruf f dan Pasal 51 ayat (1) huruf f UU Pemilu Legislatif, serta Pasal 58 huruf b UU Pemda. Menurutnya, dalam ketentuan-ketentuan tersebut terdapat kontradiksi. Diantaranya terkait persyaratan menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif, atapun kepala daerah.
“Di sini, saya liat ada kontradiktif. Yang satu membebaskan seluruh warga untuk menjadi Presiden, tapi di sisi lain mensyaratkan setia pada Pancasila,” ungkapnya dalam Sidang Pendahuluan pada Kamis (11/10), di Ruang Sidang Pleno MK.
Setidaknya, dalam ketentuan tersebut terdapat syarat setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Menurut Sutan, perwujudan setia pada Pancasila menuntut sebuah tanggung jawab besar, yakni mesti memahami, menghayati, kemudian mengamalkan nilai dan prinsip yang dikandung oleh ketiganya. “Kesetiaan pada pancasila, menurut saya kesetiaan ini baru bisa dibangun apabila kita bisa mengenal, memahami, dan mencintai,” tegasnya.
Nah, jika terjadi pelanggaran terhadap kesetiaan tersebut, ujar dia, haruslah dipertanggungjawabkan oleh ‘si calon’ yang bertanda tangan di form pernyataan setia pada ketiga hal itu beserta pimpinan partai politik. Sebab, sebagai yang meng-endorse, lanjut dia, pimpinan partai semestinya secara tanggung renteng juga harus diproses jika terjadi penyimpangan atas syarat kesetiaan tersebut.
“Apabila terjadi pelanggaran pada Pancasila, UUD dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 orangnya akan dihukum, tetapi partainya tidak,” kata Sutan. “Jadi ini, (ada) tanda tangan dari pimpinan partai, tapi dia lepas tangan (kalau terjadi permasalahan).”
Dalam petitum permohonannya, Sutan meminta kepada Mahkamah untuk menjawab, apakah aturan-aturan yang diujinya tersebut harus diubah atau dihapuskan. “Atau pasal 6 ayat 1 itu dikembalikan pada semula,” ujarnya.
Akhirnya, setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan dalam Perkara No. 89/PUU-X/2012 tersebut, Panel Hakim Konstitusi yang terdiri dari Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua Panel), M. Akil Mochtar, dan Maria Farida Indrati memberikan beberapa nasihat untuk memperbaiki permohonan. “Saudara harus memperjelas legal standing,” ungkap Akil. “Apa kerugian konstitusional saudara jika pasal-pasal ini masih berlaku.” (Dodi/mh)