Permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang Pengujian UU MD3 dan P3 di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki Sidang Perbaikan, Rabu (10/10). Sidang perkara No. 92/PUU-X/2012 tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK, dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, didampingi Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Akil Mochtar, masing-masing sebagai anggota.
Dalam perbaikan permohonannya, DPD menyampaikan perbaikan sesuai dengan arahan dan petunjuk dari Majelis Hakim Konstitusi, yakni berkenaan dengan sistematika permohonan, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, penyempurnaan ketentuan yang diuji, panafsiran pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945, serta penambahan dan landasan teori, termasuk petitum permohonan juga diperbaiki oleh DPD.
“Penyempurnaan dalam sidang legal standing, kami sudah memperjelas sebagai lembaga negara. Memperjelas kerugian konstitusional yang di alami, kami juga sudah kami lakukan,” terang salah satu kuasa hukum Pemohon DPD tersebut.
Lebih lanjut, kata DPD, penafsiran kata-kata yang ada dalam permohonan juga di perbaiki sesuai dengan arahan Majelis Hakim Konstitusi. Selanjutnya, sambung Pemohon, sebagai landasan teori yang digunakan dalam permohonan ini adalah teori demokrasi, teori checks and balances dalam fungsi legislasi, teori hukum responsif, dan teori legislasi, serta kontruksi DPD dalam sistem ketatanegaraan dalam permohonan ini juga dicantumkan.
“Teori yang digunakan adalah teori demokrasi, teori checks and balances dalam fungsi legislasi, teori hukum responsif, teori legislasi, serta yang sesuai dengan arahan yang mulia, yakni kontruksi DPD dalam sistem ketatanegaraan,” terang DPD melalui kuasa hukumnya.
Menurut Hamdan selaku ketua sidang, permohonan ini akan dibawa dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), kemudian para pihak yang terkait untuk mempersiapkan ahli/saksi untuk memberikan keterangan dalam sidang pleno. Sementara itu, sejumlah pihak akan didengarkan keterangannya, termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), karena terkait struktur ketatanegaraan.
“Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) akan didengar keterangannya, mungkin juga kami akan mengundang MPR, karena berkaitan dengan strukutur ketatanegaraan. Para pihak juga dimohonkan mempersiapkan ahli-ahli,” papar Hamdan saat akan mengakhiri persidangan.
DPD dalam perkara ini secara simbolis diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang mengujikan pasal-pasal dalam UU MD3 (Undang-Undang No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan UU P3 (Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) terhadap UUD 1945.
Pasal-pasal yang diujikan adalah Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5) dalam UU MD3 No. 27/2009 terhadap UUD 1945.
Selanjutnya, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) pada UU P3 No. 12/2011 terhadap UUD 1945.
Menurut DPD, pasal-pasal yang terdapat dalam UU a quo telah merugikan fungsi legislasi lembaga negara tersebut. “UU MD3 dan UU P3 telah melemahkan eksistensi Pemohon, karena telah mengebiri fungsi legislasi Pemohon menjadi tidak berarti,” tegas DPD dalam permohonannya. (Shohibul Umam/mh)