Pemeriksaan pendahuluan PUU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah - Perkara No. 93/PUU -X/2012 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (5/10) pagi. Pemohon adalah H. Dadang Achmad (59) seorang direktur yang berdomisili di Bogor. Pemohon mengujikan Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU a quo terhadap Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon adalah nasabah Bank Muamat Indonesia, Tbk. Cabang Bogor, telah mengadakan akad sebagaimana akta notaris No. 34 tertanggal 09-Juli 2009 dan diperbarui dengan akad pembiayaan Al-Musyarakah (tentang perpanjangan jangka waktu dan perubahan jaminan) dengan No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Kesepakatan antara Pemohon dengan pihak Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Cabang Bogor, dalam akadnya memuat salah satu klausul yaitu jika terjadi perselisihan, maka diselesaikan melalui Pengadilan Negeri (PN).
Namun, yang terjadi selanjutnya, timbul permasalahan terkait bunyi Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah. Pasal 55 ayat (1) UU No. 21/2008 menyebutkan, “Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.” Pasal 55 ayat (2) UU No. 21/2008 menyebutkan, “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.” Sedangkan Pasal 55 ayat (3) berbunyi, “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah.”
Menurut Pemohon, timbul kontradiktif antara Pasal 55 ayat (1) dengan ayat (2) UU a quo. Bahwa ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah, maka harus dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Sedangkan ayat (2), ungkap Pemohon, memberi pilihan kepada para pihak yang terikat dalam suatu akad untuk memilih akan dilaksanakan di lingkungan peradilan mana pun, jika terjadi sengketa dalam perbankan syariah.
“Sehingga bisa diasumsikan para pihak boleh memilih apakah mau di lingkungan Peradilan Agama atau di Peradilan Umum. Bahkan di lingkungan peradilan lain pun diberi keleluasaan oleh Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, asalkan tercantum dalam akad,” ucap Pemohon.
“Maka dengan adanya Pasal 55 ayat (2) UU a quo sangat jelas sama sekali tidak ada kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945. Nampak jelas, Pasal 55 ayat (2) tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” tambah Pemohon.
Pemohon menjelaskan, akibat tidak adanya kepastian hukum dengan dicantumkannya ayat (2) Pasal 55 UU Perbankan Syariah, melahirkan pula kekhawatiran dalam UU ini sehingga dimuatlah ayat (3) Pasal 55 UU Perbankan Syariah.
“Sebetulnya, ayat (3) Pasal 55 UU Perbankan Syariah tidak perlu terbit apabila tidak ada ayat (2) Pasal 55 UU Perbankan Syariah,” imbuh Pemohon.
Dikatakan Pemohon lagi, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seperti dijamin Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, maka ayat (2) Pasal 55 UU Perbankan Syariah haruslah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Nano Tresna Arfana/mh)