Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (2/10). Sidang perkara yang teregistrasi dalam dua nomor perkara ini , yakni Nomor 80/PUU-X/2012 dan 81/PUU-X/2012 ini diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya. Para pemohon dalam perkara ini, yakni M. Farhat Abbas (80/PUU-X/2012), serta Habiburokhman, Muhammad Maulana Bungaran, dan Munatshir Mustaman sebagai Pemohon Nomor 81/PUU-X/2012.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, serta saksi maupun ahli Pemohon, Mualimin Abdi yang mewakili Pemerintah menyatakan permohonan Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma. “Hal tersebut berkaitan dengan persoalan teknis di lapangan, bukan permasalahan prinsip hukum. Hal ini dapat diatasi dengan kerja sama antara lembaga penegak hukum. Yang menjadi musuh bersama adalah orang yang melakukan tindak pidana korupsi, bukan antar sesama lembaga pemberantas korupsi. Setelah dimusuhi bersama oleh para penegak hukum, para koruptor ini diajukan ke pengadilan. Nantinya diharapkan ada efek jera terhadap para koruptor ini,” ujarnya.
Selain itu, Mualimin mengungkapkan Pasal 50 ayat (3) UU tersebut sudah tegas dan lugas serta tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut. Jikalaupun dalam pelaksanaannya terdapat penafsiran, lanjut Mualimin, komunikasi dan koordinasi antara lembaga penegak hukum menjadi solusinya. “Isu-isu yang terjadi karena berbeda penafsiran pasal-pasal a quo bukanlah mengenai isu konstitusionalitas norma, namun hanya merupakan implikasi dari penerapan UU a quo, tidak dalam rangkaian UU yang diuji,” jelasnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh perwakilan DPR, Ruhut Sitompul. Ruhut menjelaskan bahwa DPR berpendapat para pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Pemohon, lanjut Ruhut, menjelaskan hal berbeda dalam posita dan petitumnya. “Menurut DPR, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),” katanya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon mendalilkan bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan norma yang diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum dan tegaknya prinsip Negara hukum. Selain itu, Pasal 30 ayat (14) UUD 1945 secara tegas memberikan kewenangan penegakan hukum kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan tidak memberikan wewenang campur tangan KPK dalam penegakan hukum terhadap instansi lain, sehingga Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak memiliki dasar konstitusional. Kewenangan pengambil alihan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan dan konflik antar lembaga penegak hukum. (Lulu Anjarsari/mh)