Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terhadap UUD 1945. Amar putusan dengan Nomor 82/PUU-IX/2011 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Rabu (26/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan, dalam provisi, menolak permohoan provisi Pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan amar putusan permohonan yang diajukan oleh Fara Nobia Mannopo tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Pemohon memohon permohonan provisi kepada Mahkamah untuk menjatuhkan putusan sela, memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar menghentikan atau menunda hukuman pidana penjara dan denda kepada Pemohon, serta menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan. “Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa permohonan putusan provisi Pemohon tersebut tidak tepat menurut hukum karena beberapa alasan, di antaranya MK tidak mengadili kasus konkret seperti dimohonkan Pemohon serta putusan Mahkamah tentang norma dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang bersifat erga omnes,” jelasnya.
Fadlil menjelaskan dalam menjaga prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle) dan prinsip kehati-hatian (prudential principle), menurut Mahkamah memang diperlukan adanya aturan atau norma yang mengatur mengenai sanksi atau hukuman terhadap suatu perbuatan atau itikad yang tidak baik khususnya dari internal perbankan yang telah dengan sengaja tidak mematuhi norma-norma atau telah melanggar prinsip-prinsip perbankan sehingga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pada gilirannya akan merusak perekonomian nasional. Oleh karena itu, lanjut Fadlil, aturan mengenai sanksi terhadap orang-orang yang telah melanggar prinsip-prinsip perbankan yang salah satunya tercantum dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan yang telah menjerat Pemohon, merupakan konsekuensi hukum yang harus diterima oleh Pemohon karena telah melanggar prinsip-prinsip perbankan yang merugikan lembaga perbankan tempatnya bekerja dan merugikan masyarakat.
“Bahwa mengenai aturan hukuman/denda minimal dan maksimal yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan, hal tersebut menurut Mahkamah merupakan ukuran yang sudah jelas terkait dengan berat ringannya suatu hukuman yang akan dijatuhkan kepada seseorang yang telah melanggar perbuatan yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau perbuatan yang telah melawan hukum. Hukuman/denda maksimal dan minimal tergantung dari berat atau ringannya perbuatan yang telah dilanggar tersebut. Oleh karena itu, tidak relevan jika Pemohon mengkaitkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dengan hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi lainnya, tindak pidana penggelapan, dan sebagainya, karena tindak pidana korupsi, penggelapan dan lain sebagainya tersebut berbeda dengan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Pemohon,” urainya.
Selanjutnya, Fadlil memaparkan rumusan dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan merupakan suatu ketentuan yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. “Jadi, berapapun akibat hukumnya tidak menjadi masalah dan wajar jika diterapkan kepada para pelaku kejahatan perbankan, yang bukan saja merugikan perbankan itu sendiri, melainkan bisa terjadi hal yang lebih jauh lagi, yaitu akan merugikan perekonomian nasional,” ujarnya.
Kemudian, Fadlil menjelaskan ketentuan pidana minimum dan maksimum dalam pasal a quo, selain merupakan pencerminan dari tekad untuk membangun kepercayaan terhadap sektor perbankan dalam rangka pemulihan perekonomian nasional, juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa seseorang yang telah terbukti melanggarnya dijatuhi pidana, yang menurut pandangan pembentuk undang-undang merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang proporsional, mengingat bahwa dampak perbuatan tersebut sangat luas dan sangat menyentuh kepentingan bangsa dan negara dengan tujuan nasional. “Lagipula tindak pidana dalam pasal a quo adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja (delict dolus), sehingga adalah wajar manakala dijatuhi hukuman pidana berat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 49 ayat (1) huruf c UU Perbankan tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)