Permohonan mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap UUD 1945 dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (25/9). Putusan dengan Nomor 77/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Frasa ‘… atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini’ dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.. Frasa ‘ … /Badan-badan Negara’ dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Frasa ‘atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara’ dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Frasa ‘dan Badan-badan Negara’ dalam Pasal 12 ayat (1) UndangUndang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” jelas Mahfud.
Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menjelaskan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 1/2004), pengertian piutang negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 72UU 1/2004 yang menyatakan, “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”. “Dengan demikian, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, sehingga tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN,” jelas hakim konstitusi.
Menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. “Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT,” urai hakim konstitusi.
Dalam penyelesaian piutang Bank BUMN, masih terdapat dua aturan yang berlaku yaitu UU 49/1960 dan UU 1/2004 juncto UU BUMN dan UU PT sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Demikian juga dengan adanya ketentuan penyerahan piutang Bank BUMN untuk dilimpahkan dan diserahkan ke PUPN telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur Bank BUMN dan debitur Bank selain BUMN sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Selain itu, berdasarkan prinsip bahwa undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex posterior derogat legi priori) dan peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori), maka UU 49/1960 sepanjang mengenai piutang badan-badan usaha yang sudah diatur dalam UU 1/2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sepanjang menunjuk pelaksanaan UU 49/1960 adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai piutang Negara yang berkaitan dengan piutang badan-badan usaha yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam UU 49/1960 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandas hakim konstitusi. (Lulu Anjarsari/mh)