Setelah bergulir selama sekitar tiga bulan dengan disisipi adanya putusan sela, akhirnya Perkara Nomor 3/SKLN-X/2012 diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Rabu (19/9). Permohonan perkara sengketa kewenangan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Gubernur Papua diputuskan dikabulkan oleh MK dengan dua dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hamdan Zoelva. Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan KPU-lah yang berwenang melaksanakan semua tahapan Pemilukada Papua, termasuk meminta kepada Majelis Rakyat Papua untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal pasangan cagub dan wagub Papua
Ketua MK Moh. Mahfud MD membacakan langsung konklusi dan amar putusan Mahkamah terhadap perkara tersebut. “Menyatakan sah semua bakal pasangan calon yang sudah diverifikasi dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yaitu 1. Drs. Menase Robert Kambu, M.Si dan Drs. Blasius Adolf Pakage; 2. Drs. Welington Wenda, M.Si. dan Ir. Weynand Watory; 3. Habel Melkias Suwae, S.Sos, M.M. dan Ev. Yop Kogoya, Dip. Th, S.E., M.Si; 4. Lukas Enembe, S.I.P., M.H. dan Klemen Tinal, S.E., M.M.; 5. Dr. Noakh Nawipa, Ed.D dan Johanes Wob, Ph.B., M.Si.; 6. DR. John Janes Karubaba, M.Sc dan Willy Bradus Magay, S.Sos; dan 7. Alex Hesegem, S.E. dan Ir. Marthen Kayoi, M.M. masing-masing sebagai bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang dapat mengikuti tahapan berikutnya,” lanjut Mahfud membacakan poin kedua dari amar putusan Mahkamah.
Dalam poin ketiga Mahkamah juga memerintahkan Pemohon (KPU) untuk menerima bakal pasangan calon yang sudah diverifikasi dan ditetapkan oleh DPRP (Termohon I) untuk mengikuti tahapan di MRP. Dan dalam poin keempatnya MK memerintahkan KPU untuk membuka kembali pendaftaran bakal pasangan calon dalam waktu tiga puluh hari sejak diucapkannya putusan ini dan melanjutkan tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mengacu Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010, bertanggal 2 Maret 2011, yang telah menyatakan, pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRP, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001, tidak memenuhi kriteria atau tidak termasuk kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah yang bersangkutan. Berdasarkan putusan tersebut, kekhususan hanya terkait adanya Majelis Rakyat Papua, DPRP, adanya Perdasus, perbedaan nomenklatur (distrik), cagub dan wagub harus asli Papua.
“Dengan demikian tindakan para Termohon yang menyusun dan menetapkan pedoman teknis tentang tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Nomor 064/Pimp DPRP-5/2012 tentang Penetapan Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Periode 2012-2017, bertanggal 27 April 2012, termasuk dalam menyelenggarakan proses pendaftaran dan verifikasi bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua juga tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari kekhususan Provinsi Papua,” tegas Mahkamah.
Selain itu, sesuai maksud Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945, tidak mungkin dicapai apabila penyusunan dan penetapan pedoman teknis tentang tahapan Pemilukada Papua didasarkan atas Perdasus Provinsi Papua yang disusun bersama antara DPRP dan Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP, serta penyelenggaraan proses pendaftaran dan verifikasi bakal Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dilakukan oleh DPRP.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat, “DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat Papua dan Gubernur Papua terdiri atas unsur partai politik dan perorangan yang dapat menjadi pendukung atau pelaku dan memiliki kepentingan langsung dalam kompetisi Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tersebut. Sekiranya DPRP dan Gubernur, serta MRP akan mengatur hal-hal yang terkait dengan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, maka materinya terbatas mengenai persyaratan dan proses penentuan orang asli Papua sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Oleh karena Termohon I melaksanakan kewenangan berdasarkan Perdasus yang dibuat bersama oleh Termohon I dan Termohon II (para Termohon), serta telah memulai proses penjaringan yaitu pendaftaran, verifikasi, dan penetapan bakal pasangan calon berdasarkan Perdasus yang dianggap sesuai dengan UU 21/2001, maka demi kemanfaatan hukum, menurut Mahkamah perlu menetapkan posisi hukum atas hasil penjaringan bakal pasangan calon yang dihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut. Menurut Mahkamah, apa yang telah dilakukan oleh Termohon I dan Termohon II dapat diterima sebagai bagian dari proses yang sah khusus untuk Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua saat ini dan sekali ini (einmalig).
Dissenting Opinion
Maria Farida dalam pendapat berbeda menganggap salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, dalam pengajuan permohonan SKLNterdapat dua hal yang harus dipertimbangkan lebih dahulu, yaitu, tentang lembaga negara apa saja yang dapat menjadi pihak dalam perkara tersebut (subjectum litis) dan tentang kewenangan dari lembaga negara yang disengketakan (objectum litis).
Terkait hal tersebut, Maria berpendapat bahwa kedua belah pihak dalam sengketa tersebut, yaitu KPU, DPRP, dan Gubernur Papua adalah lembaga-lembaga pemerintah (regeringsorganen/bestuursorganen) sehingga tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara. “Oleh karena itu, amar putusan dalam permohonan ini seharusnya ‘tidak dapat diterima’,” papar Maria dalam pendapatnyanya panjang lebar. Maria juga berpendapat untuk terciptanya kedamaian dan manfaat yang lebih baik, penyelenggaraan Pemilukada Papua yang saat ini telah berlangsung harus dianggap sah dan dapat dilanjutkan tahapan selanjutnya.
Sedangkan Hamdan menilai tindakan DPRP dan Gubernur Papua yang memberlakukan Perdasus Provinsi Papua No. 6 tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dan pelaksanaan kewenangan DPRP berdasarkan Perdasus tersebut termasuk dalam mengeluarkan Keputusan Nomor 064/Pim DPRP-5/2012 tentang Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Periode 2012-2017 tanggal 27 April 2012 dan melakukan proses pendaftaran bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Papua haruslah dianggap konstitusional, hingga diucapkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 3/SKLN-X/2012 Tanggal 19 Juli 2012.
“Seharusnya tahapan penerimaan pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dan tahapan verifikasi bakal pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur oleh DPRP yang berasal dari partai politik sudah selesai serta harus dianggap sah dan konstitusional,” terang Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)