Sidang kelima Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum digelar, Kamis (30/8) di Ruang Sidang Pleno, lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki itu beragendakan mendengar keterangan ahli dan saksi dari Pihak Pemohon. Dalam keterangannya, ahli Pemohon yang merupakan Peneliti dan Direktur dari Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi menyatakan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memiliki banyak sekali kelemahan.
Mengawali paparannya, Dianto menjelaskan pengertian kata “pembangunan” dalam UU No. 2 Tahun 2012. Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan dapat diartikan sebagai proses sistematik yang menjadi kewajiban negara untuk memajukan dan atau mengembangkan taraf kehidupan dan derajat kemanusiaan warganya atau warga negara secara berkeadilan. “Jadi kalau kita bicara pembangunan, kita tidak hanya bicara persoalan fisik, kita tidak hanya berbicara persoalan ekonomi. Tapi kita berbicara persoalan sosial, kita berbicara persoalan budaya, dan seterusnya. Termasuk juga persoalan bagaimana nilai-nilai dan harkat manusia di dalam kehidupannya bisa menjadi lebih baik, lebih meningkat. Dalam hal ini berarti pembangunan adalah hak, hak setiap warga negara, hak asasi dari warga,” urai Dianto mengenai definisi pembangunan.
Tetapi, lanjut Dianto, dalam melakukan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan warga, negara tidak boleh melanggar hak untuk diperlakukan secara adil. Selain itu, dalam proses pembangunan warga negara berhak terlibat di dalam setiap prosesnya. “Dari sudut pandang ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 secara utuh, secara keseluruhan, saya simpulkan bahwa undang-undang ini belum mencerminkan berkerjanya prinsip hak warga negara dan kewajiban negara di dalam proses pembangunan yang berkeadilan,” tambah Dianto.
Menguatkan argumennya, Dianto menyampaikan indikasi-indikkasi belum diakomodasinya hak warga negara dalam pembangunan. Pertama, kata “pembangunan” di dalam undang-undang ini lebih merujuk kepada aktivitas pembangunan sarana fisik. Padahal, pembangunan memiliki pengertian yang luas, tidak hanya soal fisik saja.
Indikasi kedua, yaitu di dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak ditemukan penjelasan yang tegas untuk mencegah munculnya potensi diskriminasi. “Kalau pembangunan itu adalah hak dan dia harus dijalankan secara berkeadilan, maka undang-undang ini saya katakan memiliki potensi diskriminasi dan ketidakadilan, akses tepatnya, terhadap sarana fisik yang dikategorikan sebagai ‘kepentingan umum’ tadi,” jelas Dianto.
Terlebih, dalam UU ini yang disebut sebagai “kepentingan umum” tidak jelas bentuknya apakah berupa proyek-proyek atau pembangunan-pembangunan sarana fisik yang melibatkan pihak swasta atau tidak. Padahal, bila melibatkan pihak swasta maka ada investasi yang dilakukan pihak swasta dimaksud dengan memiliki profit oriented atau berorientasi kepada keuntungan.
Dianto pun tak lupa memberi contoh konkrit dari penjelasannya tersebut. Ia mengumpamakan pembangunan jalan tol yang sering diartikan sebagai pembangunan kepentingan umum dan kerap dilakukan penggusuran lahan. Padahal ketika jalan tol sudah jadi tidak semua kalangan masyarakat dapat menggunakannya atau bisa dikatakan bersifat diskriminatif. Sebab, tidak semua warga bisa mengakses jalan itu kalau pun mau mengakses harus membayar.
Keterangan Saksi
Selain menghadirkan Dianto sebagai ahli, Pemohon juga menghadirkan tiga orang saksi dalam persidangan kali ini. Salah satu saksi yang menyampaikan keterangannya, yaitu Ahmad Tomini, seorang nelayan di Kelurahan Kalibaru, Jakarta Utara.
Tomini menyampaikan bahwa mata pencahariannya sebagai nelayan kecil di pesisir pantai itu terganggu dengan adanya pembangunan Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II). “Nelayan sekarang sudah tidak bisa melaut lagi karena adanya pembangunan Pelindo II karena pembangunan Pelindo II menggangu kelancaran nelayan-nelayan kecil di Kalibaru untuk mencari ikan,” ujar Tomini yang mengaku sudah 30 tahun tinggal di Kalibaru.
Selain akibat erosi, limbah proyek tersebut juga mengakibatkan para nelayan Kalibaru kesulitan mencari ikan di pesisir. Sedangkan untuk mencari ikan ke tengah laut hal itu tidak mungkin dilakukan karena mereka hanyalah nelayan dengan kapal kecil. Bila sebelumnya penghasilan mereka bisa mencapai lima puluh ribu rupiah per hari, sekarang untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah per hari pun sulit. Dampak lanjutannya, banyak anak nelayan Kalibaru yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah mereka lagi.
Tomini juga memastikan bahwa selama satu tahun proyek itu dilakukan, tidak ada satu pun orang dari pihak Pelindo II datang melihat keadaan warga Kalibaru. Pemerintah dan pihak Pelindo II juga tidak melakukan sosialisasi terlebih dulu sebelum proyek itu digelar.
Masih belum puas, Pihak Pemohon rencananya akan mengajukan ahli lagi pada persidangan selanjutnya. Sodiki menyampaikan sidang selanjutnya dijadwalkan akan digelar pada, Selasa (11/9), pukul 11. 00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/mh)