Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) yang dimohonkan oleh 17 partai politik. Demikian hal ini tertuang dalam Putusan No. 52/PUU-X/2012, yang dibacakan pada Rabu (29/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 208 UU Pemilu Legislatif, atau sebagian frasa dari pasal atau ayat, beralasan hukum untuk sebagian. “Permohonan beralasan hukum untuk sebagian,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Tak hanya itu, Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu Legislatif, menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama. Karena pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. “Tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama,” ujar Mahkamah memberikan alasan.
Meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1), menurut Mahkamah, ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan pasal tersebut. “Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya,” urai Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga mengungkapkan dapat memahami maksud pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masing-masing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif tertentu untuk mengikuti pemilihan umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan sama untuk semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian.
“Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,” tulis Mahkamah dalam putusan yang terdiri dari 107 halaman tersebut.
Adapun terkait pengujian Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Legislatif untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik, menurut Mahkamah, ada dua solusi yang dapat ditempuh. Pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014. Atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif.
Dalam konteks tersebut, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. “Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali.”
Sementara itu, meskipun ketentuan Pasal 208 UU Pemilu Legislatif dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah, Mahkamah berpandangan, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai Parliamentary Threshold (PT) secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut.
“Menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa ‘DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota’ dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota,” tegas Mahkamah.
Pasal 208 Seharusnya Inkonstitusional
Khusus untuk pertimbangan hukum atas Pasal 208 UU Pemilu Legislatif, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Akil berpendapat, semestinya Mahkamah menyatakan Pasal 208 UU Pemilu Legislatif adalah inkonstitusional.
“Serupa dengan pendapat saya dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 bahwa model parliamentary threshold, sebagaimana diatur pada Pasal 208 UU 8/2012, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Akil.
Akil menyatakan, setelah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan penerapan model parliamentary threshold demi penyederhanaan sistem kepartaian, pada akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness). Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold.
“Penyederhanaan sistem kepartaian tidak dapat dilakukan sekejap mata dan semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan konsistensi, waktu yang panjang dan perencanaan yang matang. Jumlah partai politik dapat dibatasi melalui perekayasaan sosial berdasarkan aturan-aturan hukum tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul,” papar Akil. (Dodi/mh)