JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohon 22 partai politik (Parpol) terkait judicial review atau uji materi UU Nomor 8 tahun 2012 atau UU Pemilu.
"Semua parpol baik yang memiliki wakilnya di parlemen, tidak memilik wakil (non parlemen) dapat maju pada Pemilu 2012 dengan syarat harus mengikuti verifikasi yang sama di KPU," kata Ketua MK Mahfud MD, saat membacakan putusan di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (29/8/2012).
Selain itu, kata dia, parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen dalam UU Pemilu yang digunakan untuk menentukan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kota dan kabupaten, hanya akan digunakan untuk memilih anggota DPR. "Ambang batas 3,5 persen hanya digunakan untuk DPR," ujarnya.
Dalam putusan Nomor 52/PUU-X/2012, pasal 8 ayat 1 dan 2, pasal 17 ayat 1, pasal 208, serta pasal 209 ayat 1 dan 2 UU Pemilu, semuanya dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat.
Pertimbangan MK dalam mengeluarkan putusan ini, yang dibacakan Majelis Hakim Anggota Achmad Fadilil Sumadi, mengatakan Pasal 8 ayat 2 UU Pemilu tentang parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya dan parpol baru untuk menjadi peserta pemilu sebelumnya dan partai politik baru untuk menjadi peserta pemilu harus memenuhi persyaratan tertentu, hal ini bertentangan dengan rasa keadilan dan dalam asas persamaan tidak boleh dilakukan secara berbeda.
"Menurut mahkamah demi memenuhi rasionaitas persamaan dan keadilan justru yang seharusnya dihapuskan adalah frasa, yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau parpol baru," kata Achmad Fadilil.
Untuk pasal 208 mengenai pemberlakuan PT 3,5 persen bagi anggota DPR, DPRD, DPRD kabupaten/kota, kata dia, jika digunakan dalam UU Pemilu dapat menghilangkan suara parpol yang tidak mencapai PT 3,5 persen di tingkat nasional tersebut.
"Pasal 208 untuk penyederhanaan. Namun demikian dari sudut substansi ketentuan tersebut tidak mengakomodasi persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah," tuturnya.
Achmad mengatakan mahkamah menilai sekiranya PT 3,5 persen diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5 persen untuk DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satupun parpol peserta Pemilu di daerah yang memenuhi PT 3,5 persen sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD.
"Pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, namun parpol yang bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilu itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah," imbuhnya.
Sebelumnya, Kuasa hukum 22 parpol non parlemen, Yusril Ihza Mahendra mengatakan UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Pasalnya, kedua pasal tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi.
Bahkan, kata dia, pasal 8 UU Pemilu yang mengatur verifikasi parpol juga pernah ada di UU Parpol dan dibatalkan oleh MK. Selain itu, ketika parpol sudah berdiri semestinya sudah dilakukan verifikasi sebelumnya.
"Verifikasi berdirinya partai oleh Kemenkum HAM dan kemudian di putuskan dalam SK Menkum HAM berisi pengakuan bahwa parpol tersebut sudah berbadan hukum," ujar Yusril.
Kemudian untuk pasal 208 mengenai ambang batas atau Parlementry Tershould (PT), juga sudah pernah diatur dalam UU pemilu tahun 2009 dengan PT 2,5 persen pernah diuji juga oleh MK tapi waktu itu gugatan pemohon ditolak.