Sidang kelima yang juga menjadi sidang terakhir sebelum putusan diambil untuk perkara Pengujian Formil UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang teregistrasi dengan nomor perkara 51/PUU-X/2012, 52/PUU-X/2012, 54/PUU-X/2012, dan 55/PUU-X/2012 digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Senin (6/8). Sidang kali ini menghadirkan ahli dari Pihak Para Pemohon. OC Kaligis dan Didik Supriyanto (Ketua Perludem) merupakan dua orang ahli dari beberapa ahli lainnya yang mendapat kesempatan memberikan keterangannya di hadapan pleno hakim yang diketuai, Moh. Mahfud MD.
Dalam keterangannya, OC Kaligis mengatakan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pileg (Pemilu Legislatif) berbeda dari UU Pemilu sebelumnya. UU No. 8 Tahun 2012 menurutnya telah memuat ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya azas equality before the law.
Hal itu terlihat pada bunyi Pasal 8 ayat (1) UU Pileg sebagai berikut.
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Menurut OC Kaligus, ketentuan itu membuat partai baru seperti NasDem (Pemohon) dan partai politik peserta Pemilu tahun 2009 yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional menjadi peserta Pemilu berikutnya. “Pasal 8 ayat (1) itu memberikan previlage kepada partai parlemen untuk otomatis menjadi partai peserta Pemilu berikutnya, tanpa perlu memenuhi persyaratan sebagaimana yang diberlakukan kepada partai baru sesuai (Partai Non Parlemen) Pasal 8 ayat (2),” papar OC Kaligis.
Perbedaan itu dimaknai sebagai perlakuan diskriminasi oleh OC Kaligis. Dengan mengutip ucapan pemain sepakbola Amerika, Roger Staubach, OC Kaligis mengatakan discrimination ia a disease. “Diskriminasi adalah suatu penyakit dalam sejarah peradaban manusia. Hukum dalam suatu masyarakat yang beradab tidak boleh mengandung penyakit diskriminasi ini, tidak boleh membawa dan menyebabkan penyebaran virus penyakit ini. Karena itulah dalam hukum dikenal asas lex non distinguitur nos non distinguere debemus atau hukum tidak membedakan dan arena itu kita harus tidak membedakan. Pasal 8 ayat (1) ini telah melanggar asa hukum yang berlaku universal itu,” tegas OC Kaligis.
Sedangkan Didik Supriyanto mengatakan kebijakan soal ambang batas nasional telah melanggar asas Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana ditentukan dalam pasal 22E ayat (1) dan (3) UU Pileg. Pasalnya, partai politik yang meraih suara mencapai satu kuota atau lebih kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota di satu daerah pemilihan atau lebih kursinya akan dihilangkan akibat parpol tersebut tidak memenuhi ambang batasnasional. “Selanjutnya kursi tersebut diserahkan begitu saja kepada partai politik yang mencapai ambang batas nasional, meskipun partai itu suaranya belum tentu memenuhi satu kuota kursi DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota di satu daerah pemilihan,” papar Didik. (Yusti Nurul Agustin/mh)