Ahli Hukum International dan Hukum Kontrak, Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Kontrak Kerja Sama (KKS) yang terkandung dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) merupakan kontrak perdata, bukan perjanjian internasional. Sebab, mitra Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dalam KKS adalah perusahaan kontraktor, baik domestik maupun internasional yang merupakan subjek hukum perdata.
Demikian disampaikan oleh Hikmahanto selaku Guru Besar Universitas Indonesia itu, saat menjadi ahli Pemerintah dalam sidang pengujian UU No. 22/2001 tentang Migas - Nomor 36/PUU-X/2012 - di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (1/8) siang. “Sehingga di lapangan ilmu hukum KKS merupakan kontrak bisnis internasional dan bagian dari hukum perdata internasional, bukan bagian dari hukum internasional,” tegasnya.
Kemudian ketika BP Migas dalam KKS tersebut mendapatkan sengketa, dan BP Migas dinyatakan kalah, lanjut Hikmahanto, tidak berarti kekalahan negara Indonesia, dan tidak pula merendahkan martabat bangsa Indonesia. “Dalam hukum kontrak, kekalahan BP Migas tidak berarti kekalahan negara,” ucapnya.
Tidak Perlu Izin DPR
Disisi lain, dalam melaksanakan perjanjian internasional lainnya yang terkandung dalam ketentuan UU Migas, Presiden harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun dalam ketentuan tersebut Hikmahanto mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya, perjanjian internasional lainnya tidak bisa diterapkan dalam konteks kerja sama yang ditandatangani oleh BP Migas dengan perusahaan-perusahaan kontraktor.
“Perjanjian internasional yang lainnya, yang ada dalam konstitusi itu merujuk kepada perjanjian internasional dengan subjek hukum internasional seperti organisasi internasional, atau organisasi yang diakui oleh masyarakat internasional. "Maka, (KKS BP Migas) tidak perlu meminta persetujuan dari DPR,” urainya. “Namun, pemerintah harus tahu fungsinya, karena BP Migas mewakili kepentingan pemerintah,” tambahnya.
Sehingga perlu ditekankan dalam persoalan ini, menurut Hikmahanto, BP Migas bukan sebagai negara. Dia adalah intansi terpisah. Dia adalah subjek hukum perdata. “Jadi BP Migas sama sekali bukan Negara,” ucapnya.
Oleh karena itu, menurut ahli hukum perdata ini, permasalahan tersebut tidak harus membatalkan UU-nya, seperti yang sedang dilakukan di MK, melainkan KKS-nya. “Bukan dibatalkan UU-nya seperti di Mahkamah Konstitusi, tetapi yang dibatalkan adalah kontraknya, dan itu pergi kepengadilan,” ucapnya kepada media.
Pemerintah juga menghadirkan ahli lain yakni Erman Rajagukguk. Dalam keterangannya, Erman mengatakan bahwa pasal-pasal yang diujikan oleh para Pemohon yakni Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), serta Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Pasal-pasal tersebut merupakan implementasi UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, pengelolahan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Pasal-pasal yang disebutkan oleh para Pemohon tidaklah bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945,” terangnya.
Para Pemohon dalam persidangan ini adalah PP Muhammadiyah yang mewakili beberapa organisasi masyarakat dan perseorangan. Mereka menguji Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), serta Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Ketentuan dalam UU Migas tersebut, kata para Pemohon, telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. “Menyatakan Undang-Undang Migas tidak memiliki kekuatan hukum secara mengikat, karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke lima,” ujar Saiful kuasa hukum para Pemohon saat sidang pendahuluan. (Shohibul Umam/mh)