Proses pembentukan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) tidak didasarkan pada kejelasan tujuan rumusan dan materi muatan tidak mencerminkan asas pengayoman, kesamaan kedudukan dalam hukum dan ketertiban dan kepastian hukum. Ketidakjelasan tujuan yaitu mengenai siapa yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kemudian ketidakjelasan rumusan, yaitu mengenai pilihan kata atau rumusan kata “bantuan hukum” yang menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya.
“Undang-undang bantuan hukum bertabrakan dengan undang-undang advokat yang digolongkan terlebih dahulu, sehingga cara pembentukan undang-undang bantuan hukum tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Dominggus Maurits Luitnan, saat menyampaikan ikhtisar permohonan pengujian formil UU Bantuan Hukum di hadapan persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jum’at (29/6/2012).
Pengujian formil UU Bantuan Hukum ini diajukan oleh Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, Paulus Pase, TB. Mansjur Abubakar, Umar Tuasikal, Hj. Metiawati, Shinta Marghiyana. Para advokat ini menganggap hak dan/atau kewenangan Konstitusional mereka berpotensi dirugikan oleh berlakunya UU Bantuan Hukum.
Para Pemohon merasa hak dan kewenangannya sebagai advokat telah diambil alih oleh lembaga bantuan hukum atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ketentuan Pasal 9 huruf (a) UU Bantuan Hukum memberikan kewenangan kepada pemberi bantuan hukum untuk melakukan rekruitmen terhadap paralegal, dosen dan mahasiswa fakultas hukum. “Pemohon selaku advokat diambil alih hak dan kewenangannya oleh LSM dan lembaga bantuan hukum dengan merekrut anggota dari dosen, mahasiswa fakultas hukum dengan diberikan kewenangan untuk beracara di pengadilan dan di luar pengadilan,” lanjut Dominggus mendalilkan.
Menurut para Pemohon, advokat selaku penegak hukum, kedudukannya adalah sama dengan polisi, jaksa dan hakim. Oleh karena itu, advokat berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Kenyataannya, saat Polisi, Jaksa dan Hakim mendapat imbalan dari Negara berupa gaji, tapi advokat tidak mendapatkannya.
Ketentuan Pasal 56 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 60B ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 144C ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menunjukan bahwa Negara menanggung biaya bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Dalam hal ini, advokat memiliki kewajiban untuk mengelola anggaran yang dimaksud tersebut.
Dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pembentukan UU Bantuan Hukum tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sidang pendahuluan untuk perkara Nomor 59/PUU-X/2012, dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua Panel), Achmad Sodiki dan Anwar Usman. Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan Pemohon memperbaiki permohonan. Menurut Fadlil, ada ketidaksinkronan antara posita dengan petitum. “Petitumnya meminta supaya pembentukan undang-undang Bantuan Hukum ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Tapi, yang banyak dieksplorasi (dalam posita) justru undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Fadlil menasihati.
Fadlil juga menyoroti inkonsistensi dalam permohonan. Pemohon di satu sisi memersoalkan pembentukan UU Badan Hukum. Di sisi lain, Pemohon juga memersoalkan materi UU, misalnya mengenai jasa atas pemberian bantuan hukum yang diatur dalam UU Badan Hukum.
Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menerangkan mengenai pengujian formil. “Pengujian formil itu adalah pengujian mengenai proses, proses pembentukannya ketika paripurna di DPR misalnya kurang dari kuorum, pembentukannya cacat,” terang Sodiki.
Senada dengan Fadlil, Hakim Konstitusi Anwar Usman juga menyoroti inkonsistensi permohonan, yaitu mengenai uji formil, tapi uraian di dalamnya berisi uji materiil. “Dilihat dari bentuk permohonan dan para Pemohon mengakui sendiri bahwa perihal permohonan ini mengenai pengujian formal, tetapi apa yang disuguhkan dalam uraian ini menyangkut uji materi,” kata Anwar. (Nur Rosihin Ana/mh)