Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki menyarankan kapada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam advokasi masalah perkebunan seperti Sawit Watch, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, seyogyanya dapat menghimpun organisasinya untuk menjadi representasi masyarakat di daerah perkebunan yang bertindak untuk mengusahakan, membatalkan peraturan, dan aktivitas yang membahayakan kepentingan masyarakat yang paling dirugikan dalam permasalahan perkebunan.
Demikian disampaikan oleh Sodiki saat menjadi keynote speech dalam acara Diskusi dan Peluncuran Buku dengan tema “Konflik Perkebunan : Kontestasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia” di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Kamis (28/6). Disebabkan menurutnya, sejak adanya Undang-Undang Otonomi Daerah, konflik perkebunan muncul kembali terutama di daerah, karena para kepala daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun sayangnya, kewenangan penuh tersebut diduga disalahgunakan oleh sejumlah pemilik kekuasaan atau orang yang mempunyai kewenangan dan kebijakan di daerahnya untuk memberikan izin secara mudah kepada pemilik perusahan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan yang ada. “Kanyaataanya para kendali kekuasaan diduga mempunyai interest (kepentingan) tertentu (pada pemilik perusahaan),” ujar Sodiki.
Kepentingan tersebut, lanjut Sodiki, adalah apabila masyarakat ingin menjadi pemimpin dan mempertahankan kekuasaannnya, maka mereka akan mencari biaya supaya tujuan tersebut terwujud. Walhasil, mereka dengan mudahnya memberikan izin kepada pemilik perusahaan untuk membuka lahan perkebunan atau SDA yang masih belum digunakan. “Ini sebabnya biaya-biaya tersebut (menjadi dan mempertahankan jabatan) dibebankan terhadap SDA yang ada,” terangnya.
Hal ini terbukti, sambung Sodiki, ketika ada sengketa Pemilukada di MK khususnya berasal dari daerah timur Indonesia, para pihak yang bersengketa kerap kali membawa sejumlah orang atau saksi yang sangat besar. Oleh karena itu, menurutnya, walapun kehidupan mereka sederhana tetapi mereka bisa mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk melakukan persidangan di MK. Menurut Sodiki, konon yang membiayai mereka adalah pemilik yang akan dan telah mendirikan perusahaan di wilayah tersebut. “Dalam catatan mereka kalau tidak diberi biaya, izin untuk mendirikan perusahaan bisa dicabut,” ingat Wakil Ketua MK ini.
Dengan tema yang sama, acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) tersebut juga menghadirkan sejumlah narasumber dalam diskusi kegiatan ini. Diantaranya, Direktur ELSAM Indriaswati Dyah Saptaningrum, Wakil Ketua Komnas HAM Nurcholis, perwakilan dari Sawit Watch Ahmad Surambo, dan perwakilan dari pihak kepolisian T. Yulianto.
Dalam salah satu paparannya, Indriaswati mengatakan bahwa perkembangan konflik perkebunan hingga saat ini semakin bertambah, setara dengan bertambahnya luas lahan perkebunan yang dikelola perusahaan. "Perkembangan konflik semakin lama semakin naik, mengikuti perkembangan luas lahan yang dikuasai oleh investor," tuturnya.
Sementara dalam penjelasan Nurcholis, untuk menyelesaikan konflik perkebunan dibutuhkan payung hukum yang dibuat dengan dasar pemikiran yang komprehensif. Ini karena konflik perkebunan sebagai kejahatan kemanusiaan tidak bisa dipecahkan secara parsial. "Kita tidak bisa partikelir mengurusi tanah. Semua pihak yang memiliki kepentingan harus turut bersama merumuskan kebijakan baru terkait pengelolaan tanah," katanya. (Shohibul Umam/mh)