Sidang Perkara No. 50/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memasuki sidang kedua, Senin (25/6). Sidang kedua kali ini beragendakan perbaikan permohonan Pemohon dan pengesahan bukti-bukti tertulis yang diajukan Pemohon.
Permohonan yang dimohonkan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) dkk hari ini diperbaiki. Kuasa Hukum Pemohon, Edi Harmon Ginting di hadapan panel hakim yang diketuai Muhammad Alim menyampaikan perbaikan-perbaikan yang dilakukan pihaknya. “Sesuai saran panel hakim pada persidangan sebelumnya, kami melakukan beberapa perbaikan. Perbaikan pertama yaitu pada penajaman legal standing. Perbaikan kedua Pasal 2 huruf g UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dihapuskan, jadi tidak kami mohonkan lagi. Ketiga perbaikan kami lakukan pada tata cara penulisan dan penyebutan ayat,” papar Edi.
Dalam sidang tersebut, Alim yang telah mendengar perbaikan apa saja yang dilakukan Pemohon juga mengesahkan bukti-bukti tertulis yang diajukan Pemohon. Bukti yang dinyatakan sah, yaitu bukti P1 sampai P8. “Bukti ini sudah diperiksa juga oleh Panitera Pengganti, jadi kami nyatakan sah,” ujar Alim sambil mengetuk palu sidang sebanyak satu kali.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon lewat kuasa hukumnya mengatakan pihaknya menganggap ada beberapa pasal dalam UU No. 2 tahun 2012 yang bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang diujikan Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal Pasal 33 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kuasa hukum Pemohon kala itu menyampaikan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Namun, definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam UU Pengadaan Tanah itu tidak secara jelas dan tegas dijelaskan. “Yang menjadi permasalahan dan pertanyaan kami, Yang Mulia, bagaimanakah suatu norma bisa diseimbangkan apabila objeknya itu, pengertiannya semua tidak jelas, Yang Mulia? Artinya, di saat tiga kepentingan tadi, kepentingan masyarakat, kepentingan pembangunan, dan kepentingan perorangan itu saling tumpang-tindih, mana yang harus diprioritaskan, Yang Mulia?” ujar kuasa hukum Pemohon, Janses E Silaho saat itu. (Yusti Nurul Agustin/mh)